Ada fenomena
unik yang hampir dialami oleh semua penganut agama, yaitu merasa marah ketika
disebut kafir. Sebenarnya nggak menghawatirkan
kalau kemarahan sekedar disalurkan melalui mulut/ucapan ataupun melalui
curhatan di media sosial. Namun kenyataannya, efek dari kata kafir luarbiasa
berbahaya, suatu waktu menjadi korek pemantik adu fisik, perang antar golongan,
bahkan dilain waktu menjadi penyebab saling berbunuhan.
“Ngono yo
ngono, tapi ojo ngono”, kata mbah Semar, kalau aku translatekan to English language artinya adalah “begitu-ya begitu, tapi jangan begitu”, biasa
aja nggak usah berlebihan. Mayoritas
orang marah karena nggak paham, nggak
ngerti, dan akhirnya nggak bisa menerima sesuatu yang
disampaikan oleh orang lain.
Kata “kafir”
yang diadopsi dari bahasa Arab memiliki makna hampir sama dengan “Cover” dalam
bahasa Inggris yang bisa diartikan sebagai penutup, Hanya saja penggunaannya
yang berbeda. Istilah kafir selalu disinkronkan dengan nuansa relijiusitas,
keagamaan. Sedangkan cover selalu disinkronkan dengan mafhum kebendaan.
Secara umum
devinisi dari kafir adalah “tertutupnya hati dari menerima satu konsep
ketuhanan ataupun konsep keagamaan”. Makna kafir secara khusus adalah tidak
mengakui sesuatu yang dituhankan. Sebenarnya konsep kafir sangat sederhana. Namun
karena sudah terlanjur dipersulit,
diperumit, dan dimistiskan akhirnya berubah jadi rumit bin mbelit-mbelit.
Semua agama
memiliki konsep kafir masing-masing dengan istilahnya masing-masing, bersebab
itu pula setiap pemeluk agama berhak menganggap pemeluk agama lain adalah
kafir. Sayangnya banyak orang yang nggak terima disebut kafir, padahal sudah
jelas-jelas berlainan agama, Tuhannya tidak sama. Sayangnya juga ada yang
terlalu bersemangat berteriak kafir, sampai-sampai yang seagama dilantik
menjadi kafir pula, padahal jelas-jelas mengakui Tuhan Yang Sama.
Seorang penganut
agama Kristen merupakan ‘orang kafir’ menurut pemeluk Islam, Hindu, Budha,
Konghuchu, Majusi, Nasrani, dll. Seorang pemeluk agama Islam merupakan sosok ‘manusia
kafir’ dalam pandangan pemeluk Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, Majusi, Nasrani, dll.
Dan semua manusia yang memeluk satu agama, merupakan manusia kafir bagi pemeluk
Agama lain. Jadi, “kafir” bukanlah istilah seram ataupun menakutkan kalau sudah
memahami hakikat makna kekafiran. Nggak perlu nesu, mureng-mureng, marah hanya karena disebut kafir oleh orang
yang berbeda agama, dan nggak perlu
murka juga kalau ternyata dianggap kafir oleh mereka yang seagama karena yang
mengetahui kadar iman dalam dada hanyalah Tuhan saja.
Dilabeli istilah kafir merupakan konsekwensi logis yang harus dengan ikhlas diterima ketika sudah meyakini suatu agama. Memilih beriman dengan suatu agama berarti telah kafir terhadap agama yang lainnya. Keimanan yang tinggi terhadap Tuhan Allah S.W.T merupakan kekafiran yang Tinggi terhadap Tuhan yang mereka sebut dengan dengan nama Bapa, Brahma, Sang Hyang Widi, Omiterasu Omikami, dan seterusnya dan sebaliknya. Sebagai ummat beragama bersyukurlah telah menjalani kehidupan penuh dengan kekafiran. Kafir terhadap Tuhan yang diagung-agungkan oleh pemeluk agama lain, kafir terhadap kenabian para nabi umat agama lain, kafir terhadap kitab suci umat agama lain, kafir terhadap mereka yang mengobarkan aura kebencian, kafir terhadap mereka yang menggelorakan permusuhan, kafir terhadap mereka yang mengganggu ketentraman, dan “cover-i”-tutup hatimu dari membenarkan perbuatan mereka yang mengadu, memfitnah, mengajak memerangi para pemeluk agama yang lain darinya. Jadilah kafir yang taat, berpeganglah pada tali agamamu dengan kuat, jangan pernah berhenti belajar sebagaimana Ibrahim berusaha keras mencari hingga menemukan Tuhan
ð
Lalu bagaimana pandanganmu tentang ibu muda yang
baru- baru ini menyindir gambar para pahlawan di mata uang jenis baru yang
keluar pada penghujung 2016 ? Kalau menurut saya pendapatnya bukanlah hal yang layak dipermasalahkan. Di luar agama yang dipeluknya adalah kafir. iya, kaan ?
EmoticonEmoticon