Sunday, May 10, 2015

PERJUANGAN SI NIA, POTRET KERASNYA NEGERI INI

Tags

Nia namanya, gadis kecil berkulit sawo matang yang saat ku tanya mengaku baru kelas lima Sekolah Dasar (SD). Tinggal bersama neneknya Sebab si ayah bekerja, dan ibunya entah minggat kemana. Si Nia mulai berangkat kerja menjual es lilin sepulang
dari sekolah sampai sore ketika dagangaannya habis, meskipun tak jarang juga pulang dengan membawa sisa. Tidak hanya es lilin saja yang pernah dijajal untuk dijualnya. jauh sebelum itu dia pernah juga menjual donat, roti, dan nasi dengan sistem yang sama, membawa dagangan milik orang, menjulkannya, lalu mendapat persenan dari dagangan yang terjualkan. Nia mendapat upah  separoh dari  es lilin yang dijualnya seribu per biji, sementara sore itu sudah terjual dua puluh biji.


Beberapa meter dari tempat kami berbincang, anak-anak kuliahan pada asik bernyanyi, diiringi dengtingan piano dan petikan gitar, suara tawa terbahak-bahak merupakan jaminan kalau sore itu mereka begitu gembira, bahkan sangat bergembira. Di dalam ruangan, segerombolan anak-anak kuliahan tertawa riang bermain tebak-tebakan, tebak nama hewan, tebak nama dosen, tebak nama kota, dan lain sebagainya. Ada lagi sekelompok anak duduk melingkar berdebar-debar menatap sebuah pena yang dibaringkan di tengah lingkaran, pena diputar, dan hukuman bagi anak yang ditunjuk oleh ujung pena ketika berhenti dari perputaran. Si terhukum harus memilih satu diantara dua pilihan, berkata jujur atau menjalankan tantangan dari anak-anak yang lainnya. Kalau memilih jujur, maka si terhukum harus menjawab dengan jujur apapun pertanyaan dari anak yang lainnya. Ada yang bertanya siapa pacarmu sekarang, siapa saja wanita/pria yang pernah dekat denganmu,  siapa dosen yang paling kamu benci, siapa wanita yang paling cantik di sini, dan beragam pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur, meski bohongpun mereka tidak pada tahu. Kalau memilih tantangan, maka harus melakukan apapun yang anak-anak mau, ada yang meminta si terhukum merayu lawan jenis, mengemis, menggoda lawan jenis, menembak cewek dan masih banyak permintaan konyol lainnya. Si terhukum dengan wajah melas melakukan semuanya, sementara anak-anak yang lain tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjainya. Di lapangan futsal, dua grup sedang asik bermain. Tak peduli hujan lebat yang mengguyur, tanpa baju mereka berlari saling serang, sorak riang mengembang ketika gol tercipta ke gawang lawan, tak terpikir juga bagai mana nanti orangtua mereka  akan marah karena pulang dengan pakaian kotor dan hujan-hujanan. Yang penting hati senang.
Sangat kontras dengan Si Nia, yang saat kuhampiri sedang duduk sendiri  di pojok gedung dengan termos es kecil yang diletakkan di samping. Berulang kali aku berpapasan di dalam kampus, lalu menyapa ataupun disapa olehnya, namun baru sore itu bisa mengobrol lama dengan begitu akrab dan dekat dalam jebakan hujan lebat di teras gedung sekretariat FK2H (Forum Kajian Keilmuan Hukum), Paduan Suara Mahasiswa (PSM), Studi Islam Berkala (SIB) Fakultas Hukum Universitas Jember yang baru. Ditengah keras degupan musik anak-anak kulihan, auman bahak tawa yang membahana  pasca tasyakuran dan peresmian gedung sekretariat, kami asik berbincang, mengobrol dan tak terganggu ataupun tertarik untuk ikut serta bernyanyi dan menari, karna bagiku, Nia dan cerita-ceritanya jauh lebih menarik dari apapun yang ada sore itu.
Nia bukan satu satunya anak kecil yang menghabiskan waktu untuk bekerja sehabis sekolah, setidaknya ada tiga anak lain yang bernasib serupa di kampus ini, menjajakan dagangan dari fakultas yang satu ke fakultas yang lainnya. Kalau lebih berani dan lebih tega lagi untuk menjelajah keluar kampus, akan lebih banyak lagi ditemukan anak-anak kecil yang berkerja lebih keras dan sangat liar, ku katakan liar karena berbuat tak seumumnya dilakukan oleh anak kecil. Di alun-alun kota Jember contohnya, ada seorang lelaki kecil yang beberapa  malam kudapati tengah berkeliling membawa karung di punggung, mengambili botol plastik, kertas-kertas bekas kotak nasi, dan apapun yang terserak yang bisa dirubah menjadi rupiah di tempat penimbangan barang bekas. Ada yang khas dari anak itu, topi yang selalu menghadap ke belakang dan “umbel” atau ingus kental yang kelur masuk perlahan dari lubang hidung. Bahkan ada yang lebih parah lagi, suatu pagi, tanggal 9 Mei 2015 sekitar pukul 2.30 pagi, aku bersiap berangkat dari kecamatan Balung menuju ke kota Jember, di sekitar pasar Balung kudapati juga seorang anak tengah mengambili sampah-sampah plastik bersama seorang wanita dewasa yang juga melakukan hal sama. Aku tak berani menerka dan berspekulasi bahwa wanita itu adalah ibunya. Itu hanya beberapa dari yang pernah kutemui di Jember, semoga tidak ada yang seperti itu di daerah yang lain. Kalaupun ada semoga saja hidup mereka segera sejahtera, di manapun itu.
Bukan hanya rasa iba dan kasihan yang timbul ketika berpapasan dengan anak-anak itu, tetapi juga rasa kagum, salut dan rasa malu. Iba dan kasihan karena anak sekecil itu harus bertarung dan berjuang untuk mencari kehidupan, atau setidaknya bekerja keras untuk menggapai masa depan mereka. Kagum dan salut dengan kegigihan mereka, kesempurnaan mental dan bakat entrepreneurship mereka, perjuangan mereka dan kesiapan mereka dalam menghadapi kerasnya hidup dimasa datang. Malu karena diusia setua ini belum bisa berbuat seperti mereka, belum bisa hidup mandiri, belum bisa berprestasi. Malu karena telah kesasar dan tersesat menjadi mahasiswa yang dengan bangga mengatakan “we are the agent of change”, kita adalah agen perubahan, tapi pada kenyataannya merubah diri sendiri pun belum mampu. Malu belum bisa hidup mandiri. Malu karena belum mampu mengalahkan rasa gengsi dalam diri, belum kuat menaklukkan keangkuhan dan kesombongan hati. Malu karena masih bergantung pada pemberian orang tua, dan belum bisa memberikan apa-apa pada mereka. Malu kerena terlalu berharap dan mengandalkan kuliah sebagai jaminan masa depan, kalau kau masih menyangkal dengan mengatakan kamu tidak mengandalkan kuliah sebagai peruntungan dimasa depan maka kamu benar-benar tak tau malu atau memang tak punya kemaluan, kecuali kalau kamu membiayai kuliah/sekolah dengan hasil jerih payahmu sendiri. Malu karena telah mempunyai cita-cita yang sebenarnya berpotensi besar untuk korupsi.
Indonesia ini negara besar, dan katanya tahun ini perekonomian nasional tengah membaik, tapi kenapa potret anak-anak seperti itu masih saja ada di negeri ini ? Ahhh, pasti ada yang salah di negeri ini, entah pemerintahnya yang salah, entah rakyatnya yang salah, atau jangan jangan aku yang menulislah yang salah.


EmoticonEmoticon

Info Amirenesia