Nia namanya,
gadis kecil berkulit sawo matang yang saat ku tanya mengaku baru kelas lima Sekolah
Dasar (SD). Tinggal bersama neneknya Sebab si ayah bekerja, dan ibunya entah minggat
kemana. Si Nia mulai berangkat kerja menjual es lilin sepulang
dari sekolah sampai sore ketika dagangaannya habis, meskipun tak jarang juga pulang dengan membawa sisa. Tidak hanya es lilin saja yang pernah dijajal untuk dijualnya. jauh sebelum itu dia pernah juga menjual donat, roti, dan nasi dengan sistem yang sama, membawa dagangan milik orang, menjulkannya, lalu mendapat persenan dari dagangan yang terjualkan. Nia mendapat upah separoh dari es lilin yang dijualnya seribu per biji, sementara sore itu sudah terjual dua puluh biji.
dari sekolah sampai sore ketika dagangaannya habis, meskipun tak jarang juga pulang dengan membawa sisa. Tidak hanya es lilin saja yang pernah dijajal untuk dijualnya. jauh sebelum itu dia pernah juga menjual donat, roti, dan nasi dengan sistem yang sama, membawa dagangan milik orang, menjulkannya, lalu mendapat persenan dari dagangan yang terjualkan. Nia mendapat upah separoh dari es lilin yang dijualnya seribu per biji, sementara sore itu sudah terjual dua puluh biji.
Beberapa meter
dari tempat kami berbincang, anak-anak kuliahan pada asik bernyanyi, diiringi
dengtingan piano dan petikan gitar, suara tawa terbahak-bahak merupakan jaminan
kalau sore itu mereka begitu gembira, bahkan sangat bergembira. Di dalam
ruangan, segerombolan anak-anak kuliahan tertawa riang bermain tebak-tebakan,
tebak nama hewan, tebak nama dosen, tebak nama kota, dan lain sebagainya. Ada
lagi sekelompok anak duduk melingkar berdebar-debar menatap sebuah pena yang
dibaringkan di tengah lingkaran, pena diputar, dan hukuman bagi anak yang
ditunjuk oleh ujung pena ketika berhenti dari perputaran. Si terhukum harus
memilih satu diantara dua pilihan, berkata jujur atau menjalankan tantangan
dari anak-anak yang lainnya. Kalau memilih jujur, maka si terhukum harus
menjawab dengan jujur apapun pertanyaan dari anak yang lainnya. Ada yang
bertanya siapa pacarmu sekarang, siapa saja wanita/pria yang pernah dekat
denganmu, siapa dosen yang paling kamu
benci, siapa wanita yang paling cantik di sini, dan beragam pertanyaan yang
harus dijawab dengan jujur, meski bohongpun mereka tidak pada tahu. Kalau
memilih tantangan, maka harus melakukan apapun yang anak-anak mau, ada yang
meminta si terhukum merayu lawan jenis, mengemis, menggoda lawan jenis,
menembak cewek dan masih banyak permintaan konyol lainnya. Si terhukum dengan
wajah melas melakukan semuanya, sementara anak-anak yang lain tertawa terbahak-bahak
karena berhasil mengerjainya. Di lapangan futsal, dua grup sedang asik bermain.
Tak peduli hujan lebat yang mengguyur, tanpa baju mereka berlari saling serang,
sorak riang mengembang ketika gol tercipta ke gawang lawan, tak terpikir juga
bagai mana nanti orangtua mereka akan
marah karena pulang dengan pakaian kotor dan hujan-hujanan. Yang penting hati
senang.
Sangat kontras
dengan Si Nia, yang saat kuhampiri sedang duduk sendiri di pojok gedung dengan termos es kecil yang
diletakkan di samping. Berulang kali aku berpapasan di dalam kampus, lalu
menyapa ataupun disapa olehnya, namun baru sore itu bisa mengobrol lama dengan
begitu akrab dan dekat dalam jebakan hujan lebat di teras gedung sekretariat
FK2H (Forum Kajian Keilmuan Hukum), Paduan Suara Mahasiswa (PSM), Studi Islam
Berkala (SIB) Fakultas Hukum Universitas Jember yang baru. Ditengah keras
degupan musik anak-anak kulihan, auman bahak tawa yang membahana pasca tasyakuran dan peresmian gedung
sekretariat, kami asik berbincang, mengobrol dan tak terganggu ataupun tertarik
untuk ikut serta bernyanyi dan menari, karna bagiku, Nia dan cerita-ceritanya
jauh lebih menarik dari apapun yang ada sore itu.
Nia bukan satu
satunya anak kecil yang menghabiskan waktu untuk bekerja sehabis sekolah,
setidaknya ada tiga anak lain yang bernasib serupa di kampus ini, menjajakan
dagangan dari fakultas yang satu ke fakultas yang lainnya. Kalau lebih berani
dan lebih tega lagi untuk menjelajah keluar kampus, akan lebih banyak lagi
ditemukan anak-anak kecil yang berkerja lebih keras dan sangat liar, ku katakan
liar karena berbuat tak seumumnya dilakukan oleh anak kecil. Di alun-alun kota
Jember contohnya, ada seorang lelaki kecil yang beberapa malam kudapati tengah berkeliling membawa
karung di punggung, mengambili botol plastik, kertas-kertas bekas kotak nasi,
dan apapun yang terserak yang bisa dirubah menjadi rupiah di tempat penimbangan
barang bekas. Ada yang khas dari anak itu, topi yang selalu menghadap ke
belakang dan “umbel” atau ingus kental yang kelur masuk perlahan dari lubang
hidung. Bahkan ada yang lebih parah lagi, suatu pagi, tanggal 9 Mei 2015 sekitar
pukul 2.30 pagi, aku bersiap berangkat dari kecamatan Balung menuju ke kota
Jember, di sekitar pasar Balung kudapati juga seorang anak tengah mengambili
sampah-sampah plastik bersama seorang wanita dewasa yang juga melakukan hal
sama. Aku tak berani menerka dan berspekulasi bahwa wanita itu adalah ibunya.
Itu hanya beberapa dari yang pernah kutemui di Jember, semoga tidak ada yang
seperti itu di daerah yang lain. Kalaupun ada semoga saja hidup mereka segera
sejahtera, di manapun itu.
Bukan hanya
rasa iba dan kasihan yang timbul ketika berpapasan dengan anak-anak itu, tetapi
juga rasa kagum, salut dan rasa malu. Iba dan kasihan karena anak sekecil itu
harus bertarung dan berjuang untuk mencari kehidupan, atau setidaknya bekerja
keras untuk menggapai masa depan mereka. Kagum dan salut dengan kegigihan
mereka, kesempurnaan mental dan bakat entrepreneurship mereka, perjuangan
mereka dan kesiapan mereka dalam menghadapi kerasnya hidup dimasa datang. Malu
karena diusia setua ini belum bisa berbuat seperti mereka, belum bisa hidup
mandiri, belum bisa berprestasi. Malu karena telah kesasar dan tersesat menjadi
mahasiswa yang dengan bangga mengatakan “we are the agent of change”, kita
adalah agen perubahan, tapi pada kenyataannya merubah diri sendiri pun belum
mampu. Malu belum bisa hidup mandiri. Malu karena belum mampu mengalahkan rasa
gengsi dalam diri, belum kuat menaklukkan keangkuhan dan kesombongan hati. Malu
karena masih bergantung pada pemberian orang tua, dan belum bisa memberikan
apa-apa pada mereka. Malu kerena terlalu berharap dan mengandalkan kuliah
sebagai jaminan masa depan, kalau kau masih menyangkal dengan mengatakan kamu
tidak mengandalkan kuliah sebagai peruntungan dimasa depan maka kamu
benar-benar tak tau malu atau memang tak punya kemaluan, kecuali kalau kamu
membiayai kuliah/sekolah dengan hasil jerih payahmu sendiri. Malu karena telah
mempunyai cita-cita yang sebenarnya berpotensi besar untuk korupsi.
Indonesia ini
negara besar, dan katanya tahun ini perekonomian nasional tengah membaik, tapi
kenapa potret anak-anak seperti itu masih saja ada di negeri ini ? Ahhh, pasti
ada yang salah di negeri ini, entah pemerintahnya yang salah, entah rakyatnya
yang salah, atau jangan jangan aku yang menulislah yang salah.
Pendidikan
gratis ? gratis “untumu” iku, gratis ndasmu.
EmoticonEmoticon