Tuesday, October 13, 2015

RUTE TERBARU PENDAKIAN GUNUNG SEMERU, PERSINGGAHAN PARA DEWA.



Senin pagi ndak ada jadwal kuliah, dari pada nganggur mendingan latihan menulis sekaligus sedikit berbagi pengalaman, siapa tau bisa dijadikan referensi bagi yang berminat untuk mendakinya, ataupun bahan nostalgia bagi para Sahabat yang pernah sukses menggapai puncaknya. Pengalaman yang satu ini tentang penjalanan menyusuri jejalanan mencapai dataran tertinggi pulau Jawa, puncak Mahameru. Rencana pendakian gunung semeru sebetulnya sudah luuuuuama sekali tercetus, saking lamanya, tapi baru terealisasi pada penghujung bulan September 2015. Pendaftaran kami lakukan secara Online di website www.bromotenggersemeru.org dua minggu sebelum tanggal keberangkatan yang kami inginkan, untuk mengantisipasi kehabisan kuota, mengingat minat wisatawan untuk mengunjungi Gunung Semeru sangatlah tinggi.

23 September 2015, Rabu
                Perjalanan kami  dimulai dari jember pukul 21.00 WIB, tepatnya hari Rabu, 23 September 2015, 10 Dzulhijjah 1436 Hijriah. bukan tanpa alasan kami memilih tanggal ini (dan sekaligus waktu malam hari) sebagai acuan waktu keberangkatan. Alasan pertama agar bisa ikut serta melakukan solat Idul adha berjamaah di masjid yang berlokasi terdekat dengan desa Pani (desa dimana terdapat ranu Pani) besok paginya; dan alasan kedua supaya bisa menikmati indah sinar bulan pada saat berkemah maupun melakukan pendakian (tanggal 10-20 kalender bulan, kita bisa menikmati pemandangan sinar bulan pada malam hari).
                Rombongan kecil kami terdiri dari empat orang yaitu saya, Woro, Ridwan dan Lungit. Rute perjalanan mengikuti jalan utama, Jember => Rambi Puji => Bangsal sari => Tanggul => Jati Roto => Sukodono. Sampai di pertigaan lampu merah Sukodono ambil jalan ke kiri, karena jalan kekanan menuju Probolinggo. Kecamatan yang selanjutnya  dituju setelah pertigaan Sukodono  adalah kecamatan Senduro. Pukul 23.30 WIB kami tiba di kecamatan Senduro, melepas penat sejenak sembari menikmati kopi susu panas. Warung tempat kami ngopi tepat berada di samping kiri POLSEK Senduro. Kopi habis, selanjutnya kami memohon izin kepada petugas piket malam POLSEK Senduro untuk menumpang beristirahat di POLSEK. Petugas piket mengarahkan kami untuk beristirahat di Musolla POLSEK Senduro.
                Tidak membutuhkan waktu lama, kami segera tertidur lelap setelah mendiskusikan rencana untuk esok sambil menikmati sisa Roti ulang tahun Ridwan, hmmm enak sekali.

24 September 2015, Kamis
              
           Pukul 05.00 WIB kami terbangun, mengambil wudu, dan segera mendirikan solat subuh, juga di musholla POLSEK Senduro. Antri mandi kami lakukan setelah solat, dilanjutkan dengan persiapan melaksanakan solat Idul Adha di masjid terdekat yang berjarak sekitar 50 meter. Pukul 05.34 kami bareng-bareng berangkat ke masjid dan berjama’ah solat Idul adha sampai pukul 07.15 WIB.
                Perjalanan selanjutnya menuju desa Pani  (pos utama pendakian Gunung Semeru), kami berangkat pukul 08.00 WIB. Matahari sudah meninggi, panasnya yang terik memberi isyarat bahwa kemarau tahun ini belum segara berakhir, itu berarti bencana kabut asap yang melanda pulau sumatra dan Kalimantan juga belum segera berhenti, juga kekeringan yang menyerang beberapa provinsi di Indonesia belum segera mencapai titik ujungnya. Semoga musibah ini segera berakhir.
                Perjalanan dari kecamatan Senduro menuju Desa Pani sepanjang 29 KM. Kondisi jalan menurut penilaian kami 60% sangat  baik dengan aspal baru, sedangkan sisanya yang 40% amat sangat jelek sekali. Aspal berlubang dengan bebatuan besar yang berserakan memperlambat laju perjalanan. Ditambah lagi debu-debu beterbangan mempersesak pernapasan.  Berita baik, karena kondisi seperti ini akan segera berakhir, karena menurut informasi masyarakat, pemerintah Kabupaten sedang melakukan pembangunan jalan.
                Ranu Pani, di Desa Pani
                Dalam bahasa Indonesia, ranu berarti danau. Disebut ranu Pani karena letaknya di Desa Pani. Pukul 10.00 WIB kami tiba di desa Pani.  Sepeda motor segera dititipkan di tempat penitipan yang terletak tidak jauh dari ranu pani. Biaya penitipan setiap satu sepeda motor sebesar Rp 5.000,- perhari. Pagi itu suasanya ranu pani sangat rame, penduduk menyembelih hewan qurban dan mencucinya di ranu. Sebentar kami menepi ke ranu, di tempat yang agak jauh dari kerumunan warga. Sungguh disayangkan kondisi ranu sangat kotor, plastik-plastik bekas botol maupun pembungkus banyak berserakan di tepian ranu maupun di dalam ranu. Hal ini tentu saja membuat jelek pemandangan.
                Ruangan briefing adalah tempat yang kami tuju setelah menitipkan sepeda motor. Di ruangan ini kami mendaftarkan anggota rombongan pendakian, mendata peralatan yang kami bawa; kaos, jaket, kameja, sandal gunung, sepatu gunung, botol minuman, makanan, obat-obatan dan lain sebagainya, dan yang terakhir mendengarkan arahan dari petugas tim relawan gunung semeru. Tidak hanya kami, semua pendaki harus dibriefing terlebih dahulu, baik pendaki pemula maupun yang sudah berpengalaman, supaya mengetahui kondisi terkini dari gunung Semeru.  
Briefing dimulai pukul 10.30 WIB. Petugas memberikan petunjuk teknis pendakian gunung semeru, mengenai persiapan mental dan fisik, rute yang boleh ditempuh, anjuran dan larangan-larangan yang harus dihindari saat mendaki dan bermacam pengetahuan lainnya. Macan kumbang juga menjadi topik pembahasan, konon masih banyak pendaki yang menemukannya saat pendakian. Pukul 11.30 brieving selesai, kami segera berkemas dan melanjutkan pendakian pertama menuju tempat akan didirikannya tenda yang kami bawa, ranu Kumbolo.
Dari Ranu Pani => Landengan Dowo => Watu Rejeng => Ranu Kumbolo
Perjalanan menuju ranu kumbolo sangat melelahkan, membutuhkan stamina tinggi dan semangat membaja, lima pos yang harus dilalui untuk sampai ke sana, adapun dari satu pos ke pos yang lain dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1.5 jam perjalanan santai.  Dari ranu Pani hingga Ranu Kumbolo ada dua tempat yang dibari nama unik, yaitu landengan dowo dan watu rejeng. Dinamakan landengan dowo karena pada zaman dulu di sekitar daerah ini ditumbuhi pohon landengan (pohon yang berbuah seperti petai/ pete), sedangkan nama Watu rejeng diambil dari tebing batu raksasa yang tinggi menjulang diangkasa, itu asal-usul nama versi saya, hehehe.
Track jalan dari Ranu Pani menuju Ranu Kumbolo cukup baik dan tidak terlalu berbahaya. Jalanan yang dilalui bisa dikatakan landai rata meskipun sebenarnya terus menanjak menuju ketinggian Ranu Kumbolo 2.400 MDPL. Tanjakan curam akan banyak ditemukan setelah melewati pos 3. Jarak dari Ranu Pani ke Landengan Dowo sekitar 3KM, dari Landengan Dowo ke Watu Rejeng 3KM, dari Watu Rejeng ke  Ranu Kumbolo sekitar 4,5 KM, jadi jarak keseluruhan sebesar 10,5KM. Cukup jauh bukan ? jarak 10,5 km ini adalah jarak yang ditarik dengan garis lurus dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo, sedangkan track jalan yang kita lalui tidaklah lurus menembus hutan maupun melubangi bukit, akan tetapi cenderung berkelok-kelok mengikuti badan perbukitan, sehingga bisa bertambah sejauh 2kali lipat atau bahkan lebih. Kami tiba di ranu kumbolo sekitar pukul 17.00 dan segera melakukan solat asar di tepi ranu setelah sebelumnya solat duhur di watu rejeng. Tenda yang kami bawa segera dipasang di tepi ranu Kumbolo. Malam menjelang, tenda kami telah berdiri kokoh, menemani puluhan tenda lainnya yang sudah berdiri beberapa jam sebelumnya. Welcome to Ranu Kumbolo.
Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo berada di ketinggian 2400 MDPL dan luas 15 Ha.  Posisi yang cukup tinggi, Konon (menurut warga lokal) salju seringkali turun di kawasan Ranu Kumbolo manakala musim hujan. Bukan hal yang mengherankan, pada saat kami datang di bulan September yang notabene adalah musim kemaraupun, suhu malam hari mencapai sekitar 8 derajat celcius. Baju rangkap dua, jaket rangkap dua, Sleeping bag tebal, dan tenda berbahan parasit yang kami pakaipun tidak kuasa menghangatkan tubuh kami. Wedang kopi susu yang dibuat dengan Air mendidih bisa langsung kami minum beberapa  detik setelah diaduk, tidak hanya itu saja bahkan mie instan yang kami rebus di panci pun bisa langsung kami santap tanpa diangkat terlebih dahulu dari kompor lapangan yang sedang membara apinya.
Awalnya kami sempat ragu untuk berwudu sebelum solat maghrib, tetapi dengan mengumpulkan segenap kebaranian dan kenekatan akhirnya terlaksana juga. Solat maghrib dan Isya kami lakukan di tepi ranu kumbolo, diterangi cahaya bulan tanggal 11 Dzulhijjah, juga kerlap-kerlip bintang yang menjanjikan kepada kami ribuan harapan, yang menyalakan lagi semangat kami akan panjangnya masa depan, no matter how hard the past, we can always begin again, semuanya menemani lelap tidur kami malam ini.
25 September 2015, masih di Ranu Kumbolo

Pukul 05:15 WIB alarm handphone berteriak-teriak dengan kencangnya. Woro yang bangun pertama kali segera membangunkan kami semua. Kami melompat keluar tenda, suasana luar masih sangat gelap, kami segera bertayammum dan melaksanakan solat subuh. Suasana gelap diakibatkan oleh embun dan uap air yang membentuk awan tebal di atas permukaan ranu, sehingga menghalangi cahaya matahari yang berusaha keras menerobos untuk memamerkan pesona rona merahnya kepada kami.

Pukul 05:37 WIB cahaya matahari berhasil menerobas sergapan embun. Matahari tampak mulai merekah, bayangan bulatnya muncul di permukaan air dan sinarnya yang kemerahan mulai menerangi alam sekitar. Kini terlihat jelas di mata kami keindahan ranu kumbolo, airnya yang jernih bersih, ranunya yang bebas sampah, pepohonan pinus dan cemara menambah keindahan alamnya, baik pinus dan cemara yang masih berdiri kokoh menjulang ke angkasa dengan dedaunan hijaunya maupun pinus dan cemara yang roboh menjulur ke bibir ranu, ikan-ikan kecil tak sungkan berkejaran di tepi ranu, tak takut disikat oleh tangan usil manusia, karena mereka tau manusia akan selalu menjaga kelestarian lingkungannya. Ini tho ranu kumbolo, surganya gunung semeru, selama ini hanya mendengar ceritanya dari beberapa sahabat, membaca dari artikel-artikel, atau melihat video-videonya saja, tapi kini sudah di depan mata, bahkan bisa mencicipi kesegaran airnya yang mampu melepaskan dahaga dan menambah stamina.
Pemandangan lain yang sangat menggoda adalah padang rumput atau savana yang membentang luas diselingi bebungaan beraneka ragam warna; ada jingga, ada kuning, ada merah dan banyak warna-warna lainnya. Savana ini membentuk perbukitan mengikuti kontur dataran bukit yang diikutinya.
Semua pengunjung ranu Kumbolo terikat dengan peraturan ketat sebagai upaya pelestarian alam. Mencuci peralatan dan perlengkapan kemah maupun mencuci badan dan bersikat gigi boleh dilakukan minimal 10 meter dari bibir ranu. Pengunjungpun diharamkan mandi di dalam ranu, karena ranu Kumbolo hingga saat ini masih disakralkan oleh masyarakat lokal.
Pukul 08.00 WIB kami mulai sarapan, juru masak kami adalah Lungit. Menu makanan istimewa, lontong yang kami pesan di Pasar Tanjung Jember, ikan sarden, sambel pecel, abon sapi, dan tidak ketinggalan mie rebus. Suhu udara tidak lagi dingin seperti pada saat makan malam, tak ada nyali bagi kami untuk mencoba meminum langsung wedang susu dengan air mendidih sebagaimana malam tadi, karna dijamin akan melonyotkan bibir ini. Setelah sarapan kami segera berkemas, memasukkan semua barang ke dalam carrier, melipat tenda, mengisi botol-botol air yang sudah kosong dengan air asli Ranu Kumbolo (pengisian air selanjutnya ada di Sumber Mani yang berada dekat Kalimati, jadi siapkan air secukup mungkin dari sini) dan berdoa bersama sebelum melanjutkan perjalanan menuju tempat penegakan tenda yang selanjutnya, Kalimati.
Ranu Kumbolo => Cemoro Kandang => Jambangan => Kalimati dan Sumber Mani
Meniggalkan ranu kumbolo, menuju Kalimati berarti meninggalkan kesegaran air, keindahan ranu, burung-burung kecil, dan mendatangi tempat gersang yang  jauh dari air. Namun segaris dengan titah Cristopher Columbus, barang siapa terpana dengan keindahan pantai, tak akan pernah berani mendatangi tengah laut, dan tak akan pernah menemukan dunia baru.
Jarak tempuh dari Ranu Kumbolo ke Cemoro Kandang  adalah 2,5KM
Jarak antara cemoro kandang ke jambangan sejauh 3KM
Jarak antara jambangan ke Kalimati sejauh 2KM
Begitulah jarak yang tertuliskan di papan nama yang ditemui di tepi jalan, sekali lagi itu adalah jarak yang ditarik dengan garis lurus, jadi bukan merupakan panjang jalan yang akan dilalui.
 Track selanjutnya yang harus dilalui setelah Ranu Kumbolo adalah Tanjakan Cinta dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Pengunjung mesti sedikit waspada, karena kontur tanah sangat rapuh dan mudah sekali longsor.

Oro-oro Ombo
 
Oro-oro ombo adalah track yang selanjutnya. Berada tepat di balik tanjakan cinta. Oro-oro ombo adalah bentangan savana yang sangat luas, pada saat musim hujan semuanya akan tampak hijau, sedangkan pada saat musim kemarau semua pemandangan coklat karena rerumputan mengering. Oro-oro ombo dikelilingi dengan perbukitan dan pegunungan.
Setelah lepas dari oro-oro ombo kita memasuki hutan cemara. Lebat pepohonan cemara melindungi kami dari sengatan matahari siang itu. Beberapa rombongan lain yang berangkat dari Ranu Kumbolo sebelum kami tampak beristirahat sambil bercengkerama dengan rekan-rekannya. Suasana sejuk dan dingin menyebabkan kantuk. Inilah cemoro kandang yang berada di ketinggian 2.500 MDPL, surganya hewan-hewan liar. Kalau anda beruntung, akan menemukan rusa-rusa liar yang tengah berkeliaran, atau bahkan bertemu macan kumbang yang tengah iseng berjalan-jalan.
Cemoro Kandang
Bukan hanya pohon cemara dan pinus saja yang kami temui di cemoro kandang, bebungaan pun banyak tumbuh dimana-mana, menambah apik pemandangan alam sekitarnya. Sering kami mendahului pendaki lain yang sedang beristirahat sambil saling bertegur sapa, sering pula kami di dahului mereka ketika sedang beristirahat melepas penat dan dahaga, tidak jarang pula kami berpapasan dengan pendaki yang baru turun dari mendaki dan bertanya-tanya, “apakah Kalimati masih lama ? berapa lama lagi kira-kira ? ataupun rame atau tidak di sana ?”, dan beragam pertanyaan lainnya.
Dua jam lebih kami menembus hutan cemoro kandang. Jalanan berliku dan terus menenjak. Debu-debu musim kemarau beterbangan karena terinjak kaki ataupun tersandung ujung sepatu. Dengan diiringi obrolan-obrolan ringan dan khayalan khayalan tentang hutan ini, akhirnya kami sampai di pos selanjutnya pada pukul 13:15 WIB, yaitu pos Jambangan di ketinggian 2600 MDPL.
Jambangan
Tidak jauh berbeda antara view Cemoro Kandang dengan Jambangan, sama-sama ditumbuhi tetumbuhan. Jenis tumbuhannyalah yang membuat kedua tempat ini berbeda jauh. Di jambangan, hampir seluruh jengkal tanahnya ditumbuhi beragam jenis bunga. Bunga yang paling kontras terlihat adalah bunga eddelwais, bunga asli dataran tinggi Brazil. Di musim penghujan, mata akan dimanjakan dengan hamparan hijau alam yang terjaga dengan maksimal. Burung-burung beterbangan dengan bebas, aman dari sergapan manusia. Jambangan adalah pos terakhir yang disinggahi dalam perjalanan menuju Kalimati.
Istirahat di Jambangan kami cukupkan dengan 25 menit saja, supaya segera tiba di Kalimati dan mendirikan tenda di sana. Sekitar pukul 13:20 WIB perjalanan kami lanjutkan menyusuri taman bunga eddelwais yang sangat indah ini. Tidak butuh waktu lama, setengah jam berlalu dari Jambangan, kami sampai di Kalimati. Jam sore itu menunjuk pada angka 13:59 WIB
Kalimati

Kalimati adalah pos terakhir sebelum pendakian ke puncak Mahameru. Puncak Mahameru dan lereng terjalnya terlihat dengan jelas dari kalimati. Kalimati terletak di ketinggian 2.700 MDPL, dataran luas nan landai membuat posisinya sangat tepat untuk berkemah. Abu vulkanik sering turun di kawasan Kalimati ini manakala kawah Semeru yang bernama kawah Jonggring Saloka sedang menyemburkan abu vulkaniknya.
Pemandangan di Kalimati sama dengan pemandangan di Jambangan, masih penuh dengan bunga-bunga edelweis. Ada dua kelebihan kalimati bila dibandingkan dengan Jambangan. Kelebihan pertama, posisi Kalimati lebih dekat dengan Puncak Mahameru, sehingga pemandangan yang terlihat di Kalimati lebih macho, lebih membangkitkan semangat, dan lebih mempesona pastinya. Kelebihan kedua, Kalimati mempunyai sumber mata air yang dinamakan Sumber Mani, merupakan kabar baik bagi setiap pendaki yang mulai menipis persediaan airnya.
Tenda kami dirikan setelah menemukan tempat yang kami rasa cukup nyaman, bersama beberapa pendaki lainnya. Setelah tenda berdiri, kami segera melakukan solat asar, disusul dengan mengisi botol-botol air di Sumber mani.
Sumber Mani

Sumbermani terletak sekitar 2KM dari tenda kami di Kalimati. Sayangnya Sumber Mani tidak berada sejalur  antara Kalimati dan Puncak Mahameru. Membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk perjalanan pergi dan pulang. Kami tiba di pancuran Sumber Mani pukul 16:57. Ada dua pancuran air di Sumber Mani, pancuran kecil yang tidak pernah berhenti mengalir, tidak perduli siang atau malam, musim hujan maupun musim kemarau seperti saat ini. Hampir semua pendaki yang akan menuju Mahameru mengisi botol-botolnya di sini, karena di sinilah tempat terakhir pengisian air, setelah kali mati tidak adalagi. Botol-botol kami penuh, kamipun segera pulang ketenda. Matahari sore itu tenggelam dengan cepatnya, rungkut belantara Kalimati menambah seram suasana, suara binatang malam terdengar jelas, jangkrik mengerik, anjing menggonggong, kelelawar dan burung-burung malam mulai bermunculan dan beterbangan di angkasa, seakan-akan mencari suara adzan maghrib yang memang tidak terdengar di sana, di Kalimati. Kami tenggelam dalam nikmat sujud Maghrib dan tahiyyat akhir  solat Isya’ waktu itu, asik memadu kasih dengan Sang Pencipta Yang Telah Membuat segala sesuatu ada, alam semesta dengan segala keindahannya, ”Inilah hamba-Mu yang kecil, datang menghadap Engkau Yang Maha Besar, dengan segala nista dan kekurangan”. Pukul 20:00 WIB tepat kami sudah terlelap, setelah kekenyangan menghabiskan sisa lontong, ikan sarden, dan tidak ketinggalan mie instan rebus yang menjadi menu wajib kami setiap kali melakukan perjalanan.
Arcopodo
Konon, nama arcopodo diambil dari patung kembar anak-anak yang terletak di track pendakian. Kata “arco” merupakan percamaan kata dari “reco” atau dalam bahasa Indonesia “arca” atau patung. Rute pendakian resmi yang sekarang tidak melewati jalur Arcopodo, melainkan melawati jalur lain yang langsung berujung di pertigaan jalur yang lokasinya berada setelah arcopodo. Banyak pertimbangan yang menyebabkan jalur  arcopodo ditutup, beberapa diantaranya karena kerusakan parah yang mengakibatkan tanah longsong, jurang-jurang menganga yang tidak jarang menelan korban, dan juga binatang buas yang sering menampakkan diri kepada para pendaki pada malam hari.
Pukul 22:15 WIB kami berempat terbangun. Segala perlengkapan sudah tersiapkan sebelum tidur. Setiap orang wajib membawa dua botol air mineral dengan isi 1,5 liter, gula untuk menambah stamina, susu, madu, dan camilan secukupnya. Tangan dan kaki kami bungkus dengan plastik sebelum dilapisi dengan kaoskaki dan sarungtangan untuk mengurangi rasa dingin yang menyerang. Tenda dan perlengkapan berat ditinggal di Kalimati. Setelah berdiskusi sejenak, dengan mempertimbangkan kondisi fisik setiap anggota, kami memutuskan hanya dua orang yang mendaki ke Puncak Mahameru, Saya dan Woro.
Pukul 22:40 WIB kami berdua memulai langkah pertama, dengan dimulai membaca basmalah dan do’a do’a lainnya. Perjalanan yang dilakukan hanya dua orang terlalu beresiko, selain belum paham medan yang akan dilalui, kami juga menghawatirkan resiko bertemu mahluk Tuhan yang bernama binatang liar, kalau sekedar lewat saja tak masalah bagi kami, tapi kalau sampai menyapa, mengajak kenalan, apalagi mengulurkan tangan untuk bersalaman, waaah ini yang tidak kami harapkan. Kamipun bergabung dengan rombongan lain, jumlah kami menjadi 9 orang, ada yang berasal dari surabaya, ada yang dari Sidoarjo, ada yang dari Jakarta, ada yang dari Klaten, ada yang dari Jember, ada juga yang dari Palembang dan Kalimantan. Kami berdua berganti-gantian menjadi pemimpin rombongan karena rombongan yang lain mempersilahkan kami untuk berjalan di depan. Kami beristirahat ketika badan mulai lelah, posisi tas mulai tidak nyaman, menguatkan tali sepatu, ataupun sekedar berhenti untuk menghirup napas dalam-dalam. “Malu beristirahat akan menggagalkan perjalanan, tidak membantu kawan saat petualangan akan ditinggalkan di tengah hutan, setan bersama mereka yang mementingkan dirinya sendiri”.
Dua jam lebih kami menyusuri hutan, berkali-kali tersandung batu maupun akar, mengikuti rambu-rambu yang sudah banyak terpasang di pepohonan. Jangan lupa sedia kayu maupun alat-alat lain yang kokoh, tidak hanya berguna untuk menopang beban tubuh, tetapi juga untuk melindungi diri dari binatang liar, bukan untuk menyerang atau membunuh mereka, tetapi sekedar menyingkirkannya saja, membunuh binatang hanya halal dilakukan dalam situasi kepepet dan tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dilakukan. Tangan-tangan kami kokoh menarik akar pohon untuk mengangkat tubuh manakala ada jalanan yang tiba-tiba terhalang batu besar ataupun 90 derajat menanjak vertikal.

26 September 2015, lereng pasir Mahameru
                Pukul 01:10 WIB dinihari, di depan kami, dalam temaram cahaya senter kepala milik Woro Ritno (link) dan juga sinar bulan yang sangat membantu penerangan tampak sebatang pohon cemara raksasa yang  roboh menghalangi jalan. Pohon ini adalah pohon cemara yang dulu dipanggil mesra dengan sebutan cemoro tunggal. Beratus-ratus gadis cantik pernah memeluknya atau jangan-jangan juga nekat menciuminya. Yang berdiri kokoh sekarang adalah pohon cemara lain yang mungkin adalah ahli warisnya.
                Cemoro tunggal adalah gerbang keluar dari hutan pinus yang selama dua jam-an lebih kami susuri. Juga merupakan gerbang masuk menuju track selanjutnya yang terkenal dengan beragam nama seramnya, ada yang menyebut dengan lereng pasir, lautan pasir, tanjakan putus asa, tanjakan 5:3 dan lain sebagainya. Track ini menurut kami adalah yang paling menangtang, paling sulit, paling membahayakan, dan paling melelahkan dibandingkan dari rute-rute yang kami lalui sebelumnya. Track berpasir ganas dengan kemiringan sekitar 60 derajat atau bahkan lebih, setiap kali kaki melangkah satu langkah akan selalu mundur sejauh setengah langkah, berarti dalam lima langkah kaki sebetulnya kita baru melangkah sebanyak tiga langkah saja, terkadang kami harus merangkak untuk menghindari terjengkang ke belakang. Kewaspadaan adalah kunci utama keselamatan, mata harus selalu menatap ke depan karena tak ada yang tahu kapan bebatuan besar akan rontok menggelinding ke bawah, telinga harus tajam mendengar sinyal adanya aba-aba batu rontok dari pendaki di atas kita, kaki dan tangan harus lincah menghindar menjauh dari bebatuan yang rontok, mulut harus sigap menyampaikan ulang aba-aba rontok kepada para pendaki di bawah kita, oleh karena itu tidur di tengah track pasir ataupun duduk melamu menghadap kebawah merupakan tindakan yang diharamkan nomor-dua (karena membahayakan diri sendiri), setelah menginjak batu (karena mengakibatkan longsor dan membahayakan diri dan jiwa orang lain).
                Pendakian Mahameru tidak hanya membutuhkan kesiapan fisik saja, melainkan juga mumbutuhkan persiapan mental. Kadar oksigen di titik tinggi sangatlah kurang, berbeda dengan jumlahnya yang melimpah di dataran normal, angin kencang bertiup, menambah dingin suhu udara yang mencapai suhu 5 derajat celsius. Dalam situasi seperti ini, sering kami berpapasan dengan para pendaki yang memilih turun sebelum mencapai puncak Mahameru. Alasan yang mereka utarakan beragam, ada yang kecapean, ada yang merasa pusing, ada yang kedinginan, dan beragam alasan lainnya. Sejujurnya kamipun merasakan hal yang sama, namun dengan segenap upaya, kami berusaha mengalahkan kelemahan-kelamahan diri dan meningkatkan ketahanan tubuh kami melebihi batas kemampuan yang sesungguhnya. Pedoman kami. “kalau mereka bisa, kamipun harus bisa”, dan juga “perjalanan ini bukanlah perjalanan terakhir, masih ada banyak perjalanan yang lainnya”.
Pukul 04:45 lebih 4 detik WIB kami mendirikan solat subuh. Cara bersuci yang kami lakukan sangat kontroverial, tidak seperti pada umumnya yang telah diajarkan guru ngaji kami. Suhu udara sangat dingin, kami tidak berani melepaskan jaket atau sekedar menggulung lengannya, mudorot atau celaka yang timbul dengan melepas jaket kami rasa akan sangat besar. Dengan keyakinan penuh, kami usapkan debu ke muka dan lengan jaket kita seperti orang bertayammum, tapi tetap dengan memakai sarung tangan, hal ini pun kami bayangkan dalam hati kami supaya lebih meyakinkan lagi. Solat pun kami lakukan dengan berdiri menghadap arah yang juga kami yakini merupakan arah kiblat, tidak memungkinkan bagi kami untuk duduk tahiyyat ataupun duduk diantara dua sujud, apalagi jika harus bersujud menghadap arah kiblat, kemiringan tebing pasir lebih dari 60 derajat bung, bisa-bisa kami nggelundung kebawah kalau memaksakan diri untuk bersujud, apalagi arah kiblat saat itu membelakangi arah puncak gunung.
Puncak Mahameru
Usaha kami tidak sia-sia, setelah bertarung dengan lautan pasir selama lebih dari empat jam, pukul 05:18 lebih 26 detik kami sampai di puncak Mahameru. Beberapa orang merangkul kami, kamipun saling berpelukan erat. Sinar mentari pagi yang kemerahan mempertampan wajah kami yang tak kalah tajam sinarnya, pancaran kegembiraan, juga syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan. Cuaca pagi itu sangat cerah, udara tenang, angin serasa tak berhembus, lautan awan yang terhampar hingga batas terjauh mata memandang mendadak berhenti bergelombang, warna putihnya yang merupakan lambang kesucian berbaur dengan rona merah sinar Sang Surya. Beberapa pendaki yang telah sampai sebelum kami tampak bahagia sekali, tertawa riang dan tak sadar bila buliran air mata perlahan keluar mengalir ke pipi, entah disebabkan karena rasa hati yang dipendam, ataukah karena kelilipan pasir di lereng Mahameru yang banyak berterbangan ? entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
Di sebelah utara kami, tampak kawah Jonggring Saloka diam dengan anggunnya, diam yang menyeramkan, diam yang mematikan. Banyak pendaki yang tak sadar, bahwa kapanpun Tuhan mau Dia bisa menghabiskan mereka dengan gas beracun yang keluar 15 menit sekali dari perut kawah Jonggring Saloka ini. Suara bergemuruh seperti guruh terdengar kencang mengiringi gas beracun yang keluar dari mulut kawah menuju arah timur, mengikuti angin berhembus. Kami beruntung karna  pada saat itu alam memihak kepada kami dengan tidak menghembuskan angin ke arah selatan yang merupakan posisi kami, para pendaki berada.
Puncak mahameru yang selama ini membuat kami penasaran kini sudah tersampaikan bersamaan dengan ucapan salam para sahabat kepadanya yang juga telah kami sampaikan. Puncak mahameru yang selama ini kami lihat dengan leher mendongak, kini tak setinggi kedua bola mata kami yang sedang bersukur memandangi keindahan karya Sang Ilahi.
Turun ke Kalimati
                Perjalanan turun menuju kalimati tidak selama ketika mendaki. Hanya butuh waktu sekitar 2 jam saja dengan melalui rute yang sama. Pasir-pasir tebal yang semalam menjadi musuh, kini sangat bersahabat. Kami bisa berlari kencang menuruni lereng, melompati bebatuan terjal yang berserakan. Pemandangan alam pagi itu sangat indah dan menakjubkan.
Ranu Regulo
Ranu Regulo terletak sekitar 10 menit dengan berjalan kaki dari ranu pani. Air di ranu regulo masih sangat bersih dan terjaga, tidak jauh beda dengan ranu Kumbolo. Tepian danau sering juga dipakai untuk mendirikan tenda kemah. Jarang pendaki yang mengetahui tempat ini, selain karena letaknya yang tersembunyi, juga mungkin karena minimnya informasi, padahal sudah terdapat papan penunjuk jalan di sana. Salam lestari.
Jember 12 Oktober 2015. 23:14 WIB

Rute Baru Dari Kalimati Ke Puncak Mahameru

             Lokasi Perkemahan terakhir untuk para pendaki sebelumnya difokuskan di arcopodo, namun karena berbagai alasan yang telah disebutkan sebelumnya perkemahan terakhir dipindahkan ke kalimati. tentu saja hal ini memperpanjang rute yang berdampak pada lama waktu tempuh menuju puncak mahameru. Dari arcopodo ke puncak mahameru membutuhkan waktu sekitar 4,5 jam, sedangkan dari kalimati ke puncak mahameru membutuhkan waktu sekitar 7 jam.
                 Rute baru ini tidak melewati arcopodo, akan tetapi menyimpang dan langsung tembus ke daerah di atas arcopodo. Tanda-tanda penunjuk rute banyak dipasang, diantaranya tiang kuning, dan ada juga tali temali yang menuntun ke arah rute yang benar. Rute yang baru dibuat ini jauh lebih baik dan lebih nyaman jiga dibandingkan dengan rute semula yang melawati Arcopodo. selain itu, rute yang baru ini memangkas cukup banyak jarak tempuh. Dari Kalimati, para pendaki yang akan menuju puncak mahameru biasanya berangkat pukul 23:00 untuk bisa menikmati keindahan sunrise di puncak mahameru. Perlu diingat, pendaki harus turun dari puncak mahameru sebelum jam sembilan pagi, karena arah angin yang membawa gas beracun kawah Mahameru menuju ke lokasi puncak mahameru.
Jember, 13 Oktober 2015, 13:34 WIB.

Tips dari kami, pengunjung sebaiknya membawa:

  1. Beras secukupnya
  2. Lontong yang dibungkus plastik, karena lontong tahan lama & sebagai pengganti nasi
  3. Lauk pauk yang tahan lama, misalnya sarden, abon, sosis, sambal kacang, dll
  4. Kompor lapangan (portable)
  5. Coklat batang untuk menambah energi
  6. Gula pasir dan gula merah
  7. Susu 
  8. Madu
  9. Obat-obatan
  10. kantong plastik untuk membungkus tangan dan kaki, setelah itu dilapisi sarung tangan dan kaos kaki. Ini sangat efektif menanggulangi dingin Semeru.
  11. Batray cadangan untuk mengisi ulang alat penerang.
  12. Perlengkapan yang wajib dibawa dan akan diperiksa oleh tim penjaga semeru ada di link ini, silahkan klok warna biru www.bromotenggersemeru.org


Koleksi Foto kami

Berangkat Solat Idul Adha di Senduro





Gapura Masuk TNBT. Semeru


 
Di Desa Pani






Ranu Pani

 



Gerbang Masuk Pendakian Gunung Semeru, Menuju Ranu Kumbolo lewat sini



Landengan Dowo



Watu Rejeng

 
 
Ranu Kumbolo







Tanjakan Cinta, "jangan menoleh kebelakang"..hehhe



Oro-oro Ombo

Di depan kami adalah oro-oro ombo








9 comments

Makasi uda berbagi, kali aja temanmu ini bisa nyampe juga :-)

terimakasih bang Sutan...ayo berkunjung, mumpung lagi di Surabaya.. heheh

pasti bisa mbak... langsunng aja ajak yang laen,, hohoho

maturnuwun bang Oriet,,, jangan "kerennya" ust Anwar zahid yoo.. hohoho

Baguss bang, kapan ya aku bisa di ajak kesana.

Perjalanan yang penuh kenangan indah, keren, Mas Emir (M. Yunus)


EmoticonEmoticon

Info Amirenesia