Berjalan
ditengah kabut belerang kawah ijen Bondowoso untuk saat ini bukanlah hal yang
susah bagi sahabat saya sekaligus guru kehidupan saya yang sering saya panggil
Bang Dwi. Hari itu tanggal 16 Mei 2015. Sebelum
tanggal di hari bersejarah itu dia tidak pernah satu kalipun menikmati indahnya
blue fire kawah ijen Bondowoso meskipun sudah menyapa pintu gerbang wisata Kawah Ijen.
Tidak
ada hal baru dalam teknik, juga tidak ada perlengkapan baru yang lebih canggih,
juga tidak berkaitan dengan fisik yang lebih prima. Peletupnya sederhana,
percakapan ringan antara saya dengannya yang masih saya ingat betul hingga
sekarang.
“Bang
Dwi, kalau sampean pada saat ini
tidak berani turun ke dasar menuju lokasi blue
fire kawah ijen , maka selamanya sampean
tidak akan pernah berani turun dan menikmati keindahannya,”, kata saya mulai
mengintimidasinya. “Saya tidak berani bro, kalau ada apa-apa nanti siapa yang mau
bertanggungjawab”, dia balik bertanya. “ Yang bertanggungjawab nanti saya, dan
kawan kawan kita yang lainnya”, kata saya mencoba memantapkan hatinya. Pada
saat itu memang saya berangkat dengan lima sahabat saya , Dwi, Woro, Hadi, dan Nuha.
Benar
saja, Dwi berani mencoba. Dengan memaksakan dirinya dengan segenap upaya dan
usaha. Akhirnya, gangguan asma yang kadang-kadang kurang
ajar datang bisa dikalahkan, hingga sekarang.
Jauh
sebelum kejadian ini tepatnya di tanggal 18 Oktober 2014 sayapun pernah
mengalami kejadian yang sama. Penanjakan 1 Bromo yang terkenal dengan
keindahannya merupakan tujuan kami pada saat itu. Saya pergi berlima dengan
sahabat-sahabat, saya, Woro, Ridwan, Siska, dan Vivi. Pertama kali kami tiba
langsung mencari informasi tentang track dan
medan jalan yang akan kami lalui. “lautan pasir tebal dan susah dilalui”, begitu gambaran rute yang
ditunjukkan oleh warga lokal.
Begitu
mendengar penjelasan warga tentang beratnya medan dan banyaknya wisatawan yang
gagal sampai dan menikmati pemandangan, langsung saja mental kami jatuh, down. Beberapa dari kami mamaksakan
untuk tidak usah melanjutkan perjalanan, medan berat, kendaraan pribadi kami yang
berupa sepeda motor tidak mungkin sukses menaklukkannya. Pendapat mereka hampir
saja mempengaruhi seluruh anggota lainnya.
Pada
saat seperti itu saya berfikiran lain dari mereka, saya memberanikan diri untuk
berpendapat, “ teman-teman, kita sekarang sudah berada di kawasan Bromo, jarak
kita ke penanjakan 1 lebih dekat jika dibandingkan dengan perjalanan pulang ke
Jember”, kata saya berapi-api, “Tujuan kita sudah dekat, kita tidak tahu bagai
mana kerasnya track lautan pasir di
depan kita, ketakutan kita hanya bersumber dari pendapat orang dan “katanya, katanya, katanya”,
kobaran api jiwa saya lebih panas dari api unggun kami malam itu, saya
melanjutkan, “tidak pantas kita menakuti sesuatu yang belum terjadi, ayo kita
coba dulu, kalau toh ternyata nanti
kita tidak sanggup, kita akan kembali, dan kesini lagi dengan kendaraan yang
lebih tangguh lagi”, kata saya menutup pendapat malam itu. Teman-teman saling
berpandangan dan akhirnya pada tersenyum
lalu menganggukkan kepala dan serentak berkata, “oke, mari kita coba!!”, dengan
penuh kemantapan. Pagi itu jam 2 pagi kami berangkat mengalahkan lautan pasir
bromo, kami menang dan sukses menikmati keindahan sunrise dari penanjakan 1, yang lebih surprise lagi karena ternyata rutenya biasa-biasa saja.
Saya
jadi ingat betapa mental barrier sering menghalangi
langkah kebanyakan kita untuk maju. Barrier
ini muncul ketika kita ingin melakukan hal baru yang menantang, seperti
ingi bicara di depan public, ingin
mengungkapkan rasa cinta pada seseorang, ingin menyampaikan aspirasi, ingin
menulis buku dan lain sebagainya.
Sebuah
pesawat supersonic memerlukan energi
luarbiasa untuk bisa menembus kecepatan suara (1000 km/jam=Mach 1). Biasanya
mesin jet melepaskan energi dahsyat, mirip suara ledakan, yang bisa disebut after-burn sehingga sound barrier bisa ditembus dengan cepat.
Semakin
cepat semakin baik, karena terbang pada kecepatan yang sama dengan kecepatan
suara sangatlah riskan; pesawat akan mengalami getaran luar biasa. Katanya,
setelah kecepatan suara dilewati, terbang menjadi sangat mulus, hening tanpa
suara.
Sama
dengan pesawat tempur, kalau kita menghadapi sound barrier, kumpulkan energi, do your after burn, breaking your sound barrier then everythingwill be
perfectly fine. Setelah itu, serahkan semuanya pada Allah saja. Seandainya hari itu kami kalah oleh rasa takut kami, maka tidak akan pernah ada foto-foto indah di bawah ini . Jember 16 Oktober 2015, 05:27 WIB
Malam Hari di samping tenda
Lautan Pasir Bromo
kawah wurung Bondowoso
Blue Fire kawah Ijen
2 comments
Makasih bang.
Jika tidak ada sampean dan kawan-kawan pasti saya tidak akan menikmati indahnya bluefire..
Terimakasih pengalamannya...
(Y) Joss... laki
EmoticonEmoticon