“Taharrok, fainnya fil harokati barokatan”, kira-kira
seperti itu bunyi wise word yang
pernah saya pelajari ketika duduk di kelas 1
intensive di Pondok Modern Gontor Ponorogo, sekitar tahun 2007.
Bergeraklah, karena di dalam bergerak (ada/ terdapat) barokah. Penjabaran makna dari kata “bergerak” ini sangatlah luas
sekali, kita bisa memaknai wise word tersebut
dengan:
1. Bekerjalah,
karena dalam pekerjaan ada barokah;
2. Belajarlah,
karena di dalam pembelajaran ada barokah;
3. Beribadahlah,
karena di dalam beribadah terdapat barokah;
4. Beraktivitaslah,
karena di dalam setiap aktivitas terdapat barokah.
Kata barokah menurut khazanah Islam diartikan dengan
pertambahan yang terus menerus, pertambahan yang tiada akhirnya dan pertambahan
yang tidak ada habisnya.
Upaya
menjemput keberkahan sangat beraneka ragam, sangat banyak dan tidak terhitung.
Manusia seringkali terperosok dalam jebakan setan, menganggap sesuatu yang
dikerjakannya mengantarkan kepada keberkahan dan rido Tuhan, tapi ternyata
mengantarkan ke neraka dan laknat Tuhan. Hal ini terjadi karena berbagai
faktor, faktor-faktor tersebut bisa diketahui dengan banyak belajar pada
lingkungan sekitar, belajar dari pengalaman diri sendiri maupun orang lain, dan
kemudian kita bandingkan dengan ajaran agama Islam. Apakah sesuai ataukah
bertentangan?.
Tidak
menjadi diri sendiri merupakan faktor dominan yang akan mengantarkan manusia
pada neraka dan laknat Tuhan. Yang
menjadi kendala sekarang adalah bahwa “diri kita ini bukanlah milik kita”, kita
adalah milik Allah dan kepadanya kita akan kembali, jika mengutip bahasa
Al-quran dikatakan, “inna lillahi wa inna
ilaihi roojiun”. Kita akan mengenal diri kita dengan bersandar pada sebuah
hadis yang berbunyi, kullu mauluudin
yuuladu a’la al-fitroh, setiap bayi yang lahir dilahirkan dalam keadaan
suci (dalam keadaan Islam). Inilah kondisi diri kita pada saat dilahirkan,
inilah diri kita sendiri, iinilah diri kita yang sebenarnya/sesungguhnya, fil fitroh , dalam kesucian.
Islam
mengajarkan kepada kebaikan, Islam menuntun pada kebenaran. Kita dan Tuhan saja
yang tahu semua dan apa- apa yang kita kerjakan dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia dan orang lain hanya tahu sedikit saja tentang kita. Sekarang coba
tanyakan pada diri masing-masing, dalam kehidupan sehari-hari sudahkah seluruh
perbuatan baik, atau jika tidak semuanya baik manakah yang lebih banyak porsinya, porsi perbuatan baik atau porsi
perbuatan buruknya yang menyimpang dari kebaikan ? Jika porsi buruk/jelek/jahat-nya
lebih banyak dari yang baik berarti kita belum kembali pada fitroh, kita belum suci, dan kita belum
menjadi Islam yang sebenarnya, hanya Islam sebagai identitas belaka, bukan
Islam sebagai jiwa.
DR.
Hamid Fahmi Zarkasyi menyebutkan bahwa perbuatan baik itu haruslah baik menurut
Allah, baik menurut orang lain, dan baik menurut diri kita sendiri. Menjadi
diri sendiri dalam konteks ke-Islaman menurut pandangan saya berarti menjadikan
diri kita baik, fitroh, suci dan
Islam. Islam secara identitas maupun Islam secara mental dan kejiwaan. Sekarang
saya yang bertanya kepada anda, “SUDAHKAN
KAMU MENJADI DIRIMU SENDIRI ?”, jika belum maka mari bersama-sama
mewujudkannya, kita harus menjadi diri kita yang sebenarnya, kita harus menjadi
diri kita yang sesungguhnya. Wallahu
A’lam Bissowwab. Jember 15 Oktober 2015. 08:57 WIB
Baca Juga dengan mengklik :
EmoticonEmoticon