Wednesday, May 27, 2015

DISKUSI RINGAN: PENEGAK AGAMA ITU DIRI SENDIRI ATAU TUHAN ?

Tags

Jumat, 22 Mei 2015. Perkuliahan Mata kuliah Etika Profesi Hukum pada hari kamis, 21 Mei 2015  pukul 18.00 WIB diisi oleh bapak Dr. NG. Jadwal mata kuliah ini sebenarnya setiap hari Rabu pada jam yang sama, namun karena ada jam mengajar yang tidak beliau hadiri maka hari itu dijadikan sebagai pengganti.
Dalam pertemuan kali ini beliau membahas tentang persamaan dan perbedaan antara etika, agama, dan hukum. Pembahasan diselesaikan satu-persatu dan point-perpoint, mulai dari poin-poin persamaan juga poin-poin perbedaan antara ketiganya. Tidak lupa beliau menanyakan kepahaman mahasiswa terhadap materi yang dibahas, namun tidak ada pertanyaan yang disampaikan oleh mahasiswa, menunjukkan bahwa mereka semua paham.

Hingga tibalah pada pembahasan point perbedaan antara etik profesi, agama, dan hukum. Beliau menjelaskan satu persatu. Dalam penjelasannya, beliau menerangkan bahwasanya penegak (orang/sesuatu yang membuat berjalannya dengan baik suatu aturan) etik profesi adalah organ/badan yang ditunjuk oleh komunitas profesi tertentu. Contohnya dalam profesi dokter di Indonesia, maka penegak etik-nya adalah organ Etik dalam Ikatan Dokter Indonesia. Penjelasan ini masih dapat saya mengerti.
Selanjutnya, dalam hukum di Indonesia, penegaknya adalah lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Penjelasan ini pun masih bisa saya mengerti.
Pembahasan selanjutnya, beliau menerangkan bahwa penegak dalam agama adalah diri sendiri/setiap individu pemeluk agama sendiri. Beliau menyontohkan, orang Islam yang Sholat, puasa, dan melakukan ibadah adalah karena kesadarannya sendiri, bukan karena paksaan orang lain. Begitu juga orang Kristen yang pergi ke gereja setiap minggu juga karena dirinya sendiri, bukan karena takut kepada lembaga ekstern di luar dirinya. Berbeda dengan orang yang taat hukum ataupun taat pada etik profesi, bisa jadi ketaatannya timbul karena takut pada sanksi dari penegak hukum ataupun sanksi dari organ yang ditunjuk untuk menegakkan etik profesi tertentu. Penjelasan ini hingga kini tidak dapat saya sepakati.
Ketidak pahaman yang saya rasakan memaksa diri untuk bertanya. Pertanyaan saya buka dengan meminta maaf atas ketidak pahaman terhadap pejelasan beliau, dengan tetap menjaga kesopanan saya memulai mengajukan argumen dan dasar dari ketidak pahaman serta ketidak sepakatan saya. “Maaf pak, Menurut saya, orang Islam yang sholat, orang Islam yang berpuasa adalah karena memenuhi perintah Tuhan. Sama seperti orang Kristen yang pergi ke gereja setiap Minggu, ataupun penganut agama-agama lain yang pergi ke Pura, Vihara, dan kelenteng yang kesemuanya disebabkan karena diperintah oleh agama. Apabila di awal dikatakan bahwa penegak dalam aturan agama adalah diri sendiri, maka sangatlah mustahil seorang Muslim yang tidak solat dan tidak puasa ataupun seorang Kristen yang tidak pergi ke Gereja di Minggu pagi akan menghukum dirinya sendiri. Orang-orang tersebut mengerjakan ritual keagamaan karena meyakini dengan adanya sanksi jika dia meninggalkan ritual keagamaannya, dan sanksi itu pasti berasal dari “penegak” agama.  Bukankah fungsi “penegak”  etik, agama, maupun hukum adalah untuk menjamin ditaatinya peraturan yang ada dalam masing-masing norma tersebut?. Dalam hal ini saya berkeyakinan bahwa yang menegakkan aturan agama adalah Tuhan pak” saya mencoba menyampaikan gagasan.
Dengan bijaksana Bapak NG menanggapi, “laa ikroha fid-din, tidak ada paksaan dalam beragama” kata beliau. “Allah menurunkan Al-qur’an sebagai “hudan” atau petunjuk bagi manusia, Allah memberikan arahan-arahan kepada manusia kepada jalan yang benar. Adapun mengenai pilihan manusia akan mengambil petunjuk/arahan tersebut ataukah tidak, hal itu bergantung kepada pilihan manusia itu sendiri, jadi manusia mengerjakan agama adalah karena dirinya sendiri” lanjut beliau.
“Sudah puas ?”, beliau bertanya.
Saya dengan cepat menjawab, “belum pak”.
“saya memang bukan alat pemuas”, jawab beliau sambil tersenyum.
Sontak tawa riuh menggelora di kelas menambah gelora hangat suasana belajar malam ini.
“pak”, saya melanjutkan. “ Kita mengenal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang aturan hukum pidana, kita juga mengenal Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH perdata) yang mengatur tentang aturan hukum Perdata. Perlu kita ingat, bahwa kedua kitab ini merupakan “hudan”-nya/petunjuknya masyarakat Indonesia dalam kehidupan hukum. Di dalamnya ada aturan-aturan yang tertulis jelas, jika anda mencuri maka anda akan dihukum sekian tahun, jika anda memperkosa maka anda akan dihukum sekian tahun, jika anda merusak barang orang lain maka anda akan didenda sekian banyak, itu semua sudah tertulis jelas pak. Benar sekali yang bapak katakan, bahwa pilihan untuk beribadah atau tidak ada di tangan manusia, Saya menggunakan istilah ini juga, bahwa pilihan untuk mentaati KUHP dan KUH perdata ataukah tidak berada di tangan manusia juga, namun perlu diingat bahwa orang yang tidak mentaati KUHP dan KUH Perdata pasti akan dihukum oleh “penegak” hukum, sebagaimana pemeluk agama yang tidak melaksanakan ritual agama-pun pasti akan dihukum oleh penegak agama, yaitu “Tuhan”.
Bapak NG terdiam sejenak dan mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa, “ada yang mencoba untuk menjelaskan ?”. kelas malam ini mendadak sepi,tak ada jawaban, hanya terdengar suara gesekan buku dibuka dan sesekali suara kursi bergeser dari posisinya.
“seperti ini”, pak NG melanjutkan. Penegakan etik, agama, dan hukum yang kita bicarakan kali ini adalah dalam konteks kehidupan di dunia, bukan kehidupan setelah mati nanti”. Tadi saya katakan bahwa seseorang akan menjalankan atau tidak norma-norma agamanya, itu tergantung diri setiap pribadi. Pengenaan sanksi antara etik, hukum dan agama pun berbeda, sanksi pelanggaran etik dan hukum adalah di dunia, sedangkan sanksi bagi pelanggaran agama adalah di aherat”, tutur beliau.”baiklah, pembahasan mengenai ini kita ahiri, kita lanjutkan ke pembahasan selanjutnya”, sambung beliau.

“maaf pak, sebelum kita lanjutkan, izinkan saya menambahkan satu hal”, potong saya dengan memohon maaf, ”hal ini supaya....”, perkataan saya dipotong oleh seorang mahasiswa ,”supaya plong/lega”, begitu bunyinya.
“silahkan”, kata pak NG memberi kesempatan.
“begini pak, apabila kita tetap pada pendirian bahwa seseorang beribadah karena dirinya sendiri dan penegak agama adalah diri sendiri, maka setelah ini doa kita dalam solat yang berbunyi sesungguhnya solatku, ibadahku, puasaku (ini keceplosan, karena tidak ada dalam doa solat), sujudku (ini juga keceplosan), hidupku dan matiku hanya karena Allah kita rubah menjadi “sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk diriku sendiri”, kataku tegas.
Sontak seisi keras ramai, ada yang bertepuk tangan, ada yang berteriak ,”astaghfirulloh” sambil tertawa, banyak juga yang menoleh kearahku yang duduk di bangku paling belakang sambil tersenyum bahkan tertawa.
Pak NG terdiam sejenak dan berkata, “itukan kesimpulan dari anda, saya tidak menyimpulkan begitu”, sambil tersenyum.
Ah, saya sangat merindukan saat-saat belajar seperti ini. Dimana mahasiswa mendapat kesempatan lebar untuk berdiskusi dengan mereka yang lebih ahli.Tidak ada niatan “mendebat” dosen karena itu di luar kemampuan dan kapasitas saya, tidak ada niatan juga untuk mempermalukan dosen di depan mahasiswa, sebab nanti akan muncul cap durhaka. Niatan saya hanya menemukan kebanaran, kebenaran sejati, bukan kebenaran “katanya”. Harap dimaklumi, bagi mahasiswa perantauan seperti saya, mengejar dan memburu kebenaran suatu ilmu adalah suatu keharusan hingga ada suatu ilmu baru yang saya dapatkan. lebih baik tidak pulang kampuang dan tinggal di rantau untuk selamanya daripada pulang ke kampung halaman tidak membawa apa-apa dan/atau tidak melakukan perubahan apa apa di sana.

Baca Juga:


1 comments so far


EmoticonEmoticon

Info Amirenesia