23 Juni 2015, Pasar
Tanjung sore itu. Seorang anak laki-lalaki kecil diseret keluar oleh seorang
wanita paruh baya dari toko eceran miliknya.
“Apa yang kau curi ?!”, wanita itu bertanya
sambil membentak.
Dengan kasar, ditariknya baju anak
laki-laki itu. Dari balik baju tangannya mengeluarkan dengan paksa sebotol
kecil kecap dan sekaleng susu.
“dasar pencuri”, teriaknya lagi.
Si anak hanya
menunduk, matanya tak berani menatap Si
wanita, hanya air mata yang semakin deras mengalir dari sudut matanya,
sementara tangan kananannya menyeka ingus yang turun dari lubang hidung
disertai isak senggukan.
Orang-orang
yang berada di sekeliling tempat itu mulai berkumpul, menggerombol penasaran
dengan apa yang terjadi, saling bertanya satu dengan yang lainnya, tatapan
mereka tajam ke arah anak kecil tadi.
“Ayo sini ikut aku, ku bawa ke
petugas keamanan pasar”, wanita tadi menggapai tangan si anak.
Tiba-tiba
seorang laki-laki dewasa dengan kaos oblong polos warna putih yang lusuh
menepis tangan wanita yang akan menarik si kecil.
“Sudah-sudah,
tidak usah diperpanjang lagi, ku beli kecap dan susunya”, katanya sambil
mengelurkan selembar uang Rp 50.000,-. Disodorkannya uang ke depan wanita
pemilik warung , dibelinya susu dan kecap.
Si wanita menatap tajam laki-laki
tadi sebentar sambil menyerahkan kecap dan susu, lalu mengalihkan tatapannya
pada anak laki-laki kecil.
“kurang ajar
kamu, awas kalau kamu ulangi lagi !”, bantaknya sambil berlalu kembali ke
warungnya.
Anak laki-laki kecil masih terus menangis, isaknya semakin keras.
“kenapa
kamu mengambil barang di warung tanpa izin ?” tanyanya pada si anak.
“ibuku
sakitpak”, kata Si anak menunduk sedalam dalamnya. Tambah keras saja isak
tangisnya.
Tangan
lelaki dewasa mengusap lembut rambut si anak, kemudian menoleh ke arah warung
baksonya dan berteriak, “Nak, buatkan dua bungkus dan tolong bawakan kesini”.
Seorang
anak perempuan sebaya anak laki-laki tadi mengangguk dalam, paham dengan maksud
ayahnya. Dengan cekatan membungkus dua porsi bakso dan membawanya segera kepada
ayahnya. “ini yah”, katanya.
“segeralah
pulang nak, semoga ibumu lekas sembuh”, tutur lelaki dewasa sambil memasukkan
kecap dan susu ke dalam plastik bakso, lalu menyerahkannya pada anak laki-laki
kecil.
Si
anak tidak berkata apa-apa, dia hanya menatap tajam wajah lelaki dewasa,
kemudian pegi meninggalkan pasar menuju kerumahnya.
25 TAHUN KEMUDIAN
di warung
bakso, lelaki dewasa yang dulu menolong anak laki-laki kecil sedang melayani
para pembeli. Tokonya semakin ramai. Anaknya perempuannya yang dulu kecil, kini
tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik, ikut membantunya berjualan di waktu
senggang di sela-sela kuliahnya. Tiba-tiba lelaki penjual bakso itu terjatuh,
kepalanya membentur lantai dengan keras.
“Tolong,
tolong saya”, anak gadisnya berteriak. Para pembeli berhamburan mendekati
lelaki tua yang sedang terkapar. Dibantu oleh beberapa orang, gadis cantik itu
membawa ayahnya ke rumahsakit terdekat. Setelah diadakan pemeriksaan oleh
petugas kesehatan, ternyata penyakitnya
cukup parah, komplikasi paru-paru, jantung, lever, dan kencing manis
sehingga harus dirujuk ke Rumahsakit di ibukota provinsi.
Sesampainya
di rumahsakit, dokter segera memeriksa. Melihat hasil pemeriksaan, dokter
menyarankan untuk segera diadakan operasi dan rawat inap selama sebulan di
rumah sakit. Setelah dirawat selama 28 hari, si lelaki mulai membaik
kesehatannya. Waktu perawatan kurang 2 hari lagi.
Si
gadis berinisiatif untuk menanyakan biaya pengobatan kepada bagian administrasi
rumahsakit. Betapa terkejutnya dia melihat struk biaya di kwitansi yang
menunjukkan angka Rp 250 juta rupiah. Laki-laki dan anak gadisnya menangis
melihat kwitansi harga. Uang yang ada di tangan mereka hanya 38 juta. Akhirnya
mereka bersepakat untuk menjual rumah dan warung bakso dalam waktu 2 hari.
Pada
saat mereka sedang menangis sambil memegang kwitansi erat-erat, datanglah
petugas mengantarkan makan siang dan obat untuk pasien. Jam menunjukkan pukul
11.30 WIB. Rasa lapar hilang, yang ada hanyalah kebingungan, dari mana mendapat
uang sebanyak itu.
Pukul
17.00 atas paksaan anak gadisnya, si lelaki mau untuk makan siang dan minum
obat yang diberikan. Ketika piring berisi nasi diangkat, terlihat sebuah amplop
berwarna putih yang agak basah terkena tumpahan sayur. Mereka tidak memperdulikan
amplop tersebut. Si gadis dengan terisak menyuapi ayahnya, dan terus menyuapi
sambil menguatkan ayahnya untuk sabar.
Setelah
selesai menyuapi, amplop yang masih tergeletak di atas nampan dibukanya. Tidak
banyak tulisan disana, hanya ada beberapa kalimat pendek yang ditulis dengan
huruf besar
BIAYA OPERASI, BIAYA OBAT, BIAYA MENGINAP, DAN BIAYA PERAWATAN BAPAK
WARA RITNA DI RUMAHSAKIT SOETOMO SURABAYA SEBESAR RP. 260.000.000,- (DUA RATUS
ENAMPULUH JUTA RUPIAH)
DIBAYAR LUNAS DENGAN SEBOTOL
KECAP, SEKALENG SUSU, DAN DUA PORSI BAKSO
Di akhir kalimat tertera tanda
tangan pimpinan rumahsakit dengan nama lengkap dan titlenya, dr. Dedi Susanta disertai
stempel rumahsakit.
Masih
bingung dan belum mengerti dengan apa yang mereka baca, anak gadisnya bangkit
dan berlari menuju pintu untuk bertanya kepada bagian administrasi tentang
surat itu. Ketika tangannya terulur untuk membuka pintu, pintu dibuka terlebih
dulu dari luar. Seorang laki-laki berpakaian dokter masuk ke dalam kamar dengan membawa map plastik berwarna hijau.
“dokter,
ini maksudnya apa ?”, tanya anak gadisnya terbata-bata sambil menangis.
“tenang
dulu, tenang mbak”, kata dokter sambil memegang bahunya. “mari kita temuin bapak
sebentar”, lanjut dokter, kemudian melangkah mendekati penjual bakso yang masih
terbaring sambil menangis.
“bagaimana
keadaannya bapak, apa sudah enakan”, kata dokter sambil tersenyum.
“sudah
lumayan membaik dok”, jawabnya terbata-bata.
“bapak
masih ingat saya ?” tanya dokter pada tukang bakso.
Tukang bakso itu hanya menggeleng
Kemudian dokter ganti bertanya
kepada anak gadis si tukang bakso, “mbak masih ingat saya?”
Anak gadisnyapun melakukan hal
yang sama, menjawab dengan gelengan kepala.
“saya anak
kecil yang dulu mencuri kecap dan susu di warung eceran pasar Tanjung, yang
bapak tolong. sejak peristiwa saat itu saya selalu teringat wajah bapak.
Seandainya dulu saya tidak bapak tolong, mungkin sekarang ibu saya sudah
meninggal dan saya tidak mungkin menjadi seperti ini. Terimakasih pak
bantuannya” kata dokter yang mulai menangis, sambil menggapi pundak dan merangkul tukang bakso.
EmoticonEmoticon