Monday, May 11, 2015

KERA EMAS DAN BATU AKIK: SEBUAH RELAKSASI DARI KETEGANGAN DIRI

                Alkisah tersebutlah sebuah desa bernama desa Bal-Jahala. Dinamakan Jahala karena pada zaman dahulu kala di desa ini pernah hidup seorang kakek bernama Bego’ong  yang terkenal dengan kebodohannya, Jahala diambil dari bahasa arab jaahil yang dalam bahasa Arab berarti bodoh, konon penduduk desa ini adalah keturunan dari kakek Bego’ong yang meninggal sebelum Proklamasi.
Desa Bal-Jahala merupakan desa sangat subur, tumbuhan apapun bisa tumbuh disini, bahkan diatas batu pun sebatang padi dapat berbuah dengan ranumnya. Pohon-pohon di kebun
berbuah sangat cepat, dua bulan pasca panen bebuahan sudah dapat dipastikan sudah masak kembali, luar biasa.
                Namun akhir-akhir ini penduduk digegerkan dengan kedatangan segerombolan kera emas yang menyerang pertanian mereka. Padi di sawah hampir semuanya rusak, bebuahan di kebun ludes dan berceceran sisanya di bawah pohon. Penduduk dibuat gemas dan merah dengan ulah para  kera emas ini. Banyak kera yang sudah terbunuh, namun disamping itu semakin banyak kera berdatangan.
Hingga suatu ketika datanglah seorang kaya dari kota dan menawarkan diri untuk membeli kera-kera emas yang ada dengan harga Rp 15.000,- tiap ekornya, di kota, Si Kaya menjual kera sehargaRp 25.000,- tiap ekor atau membawanya ke kota lain dengan harga lebih tinggi lagi. Gayung bersambut, penduduk Desa yang menganggap kera sebagai hama mulai disibukkan dengan berburu kera dan mengabaikan penanaman tetumbuhan di ladang mereka. Setahun berlalu, kera-kera yang jumlahnya jutaan mulai berkurang, mulai jarang di temukan kera di sawah ataupun ladang. Penduduk mulai resah dengan berkurangnya jumlah kera , sedangkan mereka tidak menanam lagi di sawah. Mereka mau makan apa nantinya ? 
Si kaya yang melihat gelagat ini segera mengerti. Insting bisnisnya menemukan celah baru, dia menaikkan harga beli tiap ekor kera emas dua kali lipat menjadi Rp. 30.000,-. Penduduk desa kembali giat mencari. Sesuai janjinya, Si kaya membeli kera emas seharga Rp 30.000,-. Beberapa kemudian Si Kaya mengirimkan mata-mata ke Desa untuk menyelidiki pasokan kera yang tersedia. Dari mata-mata yang dikirimkannya, Si kaya tahu bahwa kera emas semakin langka di Desa.
Bersama beberapa kolega dan rekan bisnisnya Si Kaya menyusun strategi pemasaran kera emas yang masih banyak tersedia di gudang penyimpanan. Penduduk desa yang semakin gila mencari kera emas merupakan sasaran empuk bagi Si Kaya. Melalui tangan kanan keparcayaannya, Si kaya diam-diam membawa semua kera yang ada di gudang penyimpanan ke Desa Bal-Jahala dan menjual Rp 30.000,- per ekornya. Penduduk sangat gembira, mereka berebutan membeli kera-kera tersebut dengan harapan akan mendapatkan untung Rp 5.000,-/ ekor dari Si Kaya. Hanya butuh waktu dua hari bagi Si Tangan Kanan untuk menjual habis seluruh kera emas milik Si Kaya.
Seminggu berlalu, sebulan berlalu, setahun berlalu, penduduk desa menunggu-nunggu kedatangan Si Kaya dengan pundi-pundi uangnya, namun Si Kaya tak kunjung datang juga. Si kaya kabur dengan membawa keuntungan berlipat dari warga Desa Bal-Jahala. Desa Bal-Jahala kini ramai dengan hadirnya kera emas lagi, namun suasana desa sudah sangat gersang karena tidak ada penduduk yang bercocok tanam.

Kera emas bukanlah batu akik. Namun “mungkin” seperti inilah tragedi munculnya akik yang sedang mem-booming di masyarakat Indonesia saat ini, sebagaimana hadirnya kera emas di tengah rakyat Desa Bal-Jahala. Pada mulanya Si Kaya memborong akik dari warga dengan harga murah, lalu di ahir cerita menjualnya lagi ke warga yang sama dengan harga mahal. Kera Emas (Batu akik)+Si Kaya+Tangan Kanan +uang V.S Warga Desa+Tetumbuhan. Dan seperti itu juga batu akik akan meredup. Tidak perlu percaya tidak apa-apa, toh ini hanya spekulasi belaka. 




Baca Juga






EmoticonEmoticon

Info Amirenesia