Alkisah
tersebutlah sebuah desa bernama desa Bal-Jahala. Dinamakan Jahala karena pada
zaman dahulu kala di desa ini pernah hidup seorang kakek bernama Bego’ong yang terkenal dengan kebodohannya, Jahala diambil dari bahasa arab jaahil yang dalam bahasa Arab berarti bodoh, konon penduduk desa ini adalah keturunan dari
kakek Bego’ong yang meninggal sebelum Proklamasi.
Desa Bal-Jahala merupakan
desa sangat subur, tumbuhan apapun bisa tumbuh disini, bahkan diatas batu pun
sebatang padi dapat berbuah dengan ranumnya. Pohon-pohon di kebun berbuah sangat cepat, dua bulan pasca panen bebuahan sudah dapat dipastikan sudah masak kembali, luar biasa.
Namun
akhir-akhir ini penduduk digegerkan dengan kedatangan segerombolan kera emas
yang menyerang pertanian mereka. Padi di sawah hampir semuanya rusak, bebuahan
di kebun ludes dan berceceran sisanya di bawah pohon. Penduduk dibuat gemas dan
merah dengan ulah para kera emas ini. Banyak
kera yang sudah terbunuh, namun disamping itu semakin banyak kera berdatangan.
Hingga suatu
ketika datanglah seorang kaya dari kota dan menawarkan diri untuk membeli
kera-kera emas yang ada dengan harga Rp 15.000,- tiap ekornya, di kota, Si Kaya
menjual kera sehargaRp 25.000,- tiap ekor atau membawanya ke kota lain dengan
harga lebih tinggi lagi. Gayung bersambut, penduduk Desa yang menganggap kera
sebagai hama mulai disibukkan dengan berburu kera dan mengabaikan penanaman tetumbuhan
di ladang mereka. Setahun berlalu, kera-kera yang jumlahnya jutaan mulai
berkurang, mulai jarang di temukan kera di sawah ataupun ladang. Penduduk mulai
resah dengan berkurangnya jumlah kera , sedangkan mereka tidak menanam lagi di
sawah. Mereka mau makan apa nantinya ?
Si kaya yang
melihat gelagat ini segera mengerti. Insting bisnisnya menemukan celah baru,
dia menaikkan harga beli tiap ekor kera emas dua kali lipat menjadi Rp.
30.000,-. Penduduk desa kembali giat mencari. Sesuai janjinya, Si kaya membeli
kera emas seharga Rp 30.000,-. Beberapa kemudian Si Kaya mengirimkan mata-mata
ke Desa untuk menyelidiki pasokan kera yang tersedia. Dari mata-mata yang
dikirimkannya, Si kaya tahu bahwa kera emas semakin langka di Desa.
Bersama
beberapa kolega dan rekan bisnisnya Si Kaya menyusun strategi pemasaran kera
emas yang masih banyak tersedia di gudang penyimpanan. Penduduk desa yang
semakin gila mencari kera emas merupakan sasaran empuk bagi Si Kaya. Melalui
tangan kanan keparcayaannya, Si kaya diam-diam membawa semua kera yang ada di
gudang penyimpanan ke Desa Bal-Jahala dan menjual Rp 30.000,- per ekornya.
Penduduk sangat gembira, mereka berebutan membeli kera-kera tersebut dengan
harapan akan mendapatkan untung Rp 5.000,-/ ekor dari Si Kaya. Hanya butuh
waktu dua hari bagi Si Tangan Kanan untuk menjual habis seluruh kera emas milik
Si Kaya.
Seminggu
berlalu, sebulan berlalu, setahun berlalu, penduduk desa menunggu-nunggu
kedatangan Si Kaya dengan pundi-pundi uangnya, namun Si Kaya tak kunjung datang
juga. Si kaya kabur dengan membawa keuntungan berlipat dari warga Desa
Bal-Jahala. Desa Bal-Jahala kini ramai dengan hadirnya kera emas lagi, namun suasana
desa sudah sangat gersang karena tidak ada penduduk yang bercocok tanam.
Kera emas
bukanlah batu akik. Namun “mungkin” seperti inilah tragedi munculnya akik yang
sedang mem-booming di masyarakat Indonesia saat ini, sebagaimana hadirnya kera
emas di tengah rakyat Desa Bal-Jahala. Pada mulanya Si Kaya memborong akik dari
warga dengan harga murah, lalu di ahir cerita menjualnya lagi ke warga yang
sama dengan harga mahal. Kera Emas (Batu akik)+Si Kaya+Tangan Kanan +uang V.S
Warga Desa+Tetumbuhan. Dan seperti itu juga batu akik akan meredup. Tidak perlu
percaya tidak apa-apa, toh ini hanya spekulasi belaka.
Baca Juga
EmoticonEmoticon