Pasirputih,
Belitang III, OKU Timur, SUM-SEL. “Pancasilaku kurang lengkap”, ketik Mispan di
laptopnya dini hari itu, Jum’at 16 Juli 2015 tepat pukul 00:52 WIB. Bukan tanpa
alasan dia mengetik sesuatu yang bersinggungan dengan ideologi pancasila yang
dijunjung tinggi-tinggi oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Titik tolak yang
yang dijadikannya landasan penulisan pagi itu adalah ,”benarkah bahwa pancasila
merupakan pengejawantahan dari seluruh norma yang pernah ada dan berlaku di indonesia ?”.
“Bangsa
Indonesia ini bangsa besar lho. Beragam catatan sejarah telah menuliskan bahwa
invasi yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Ini telah menggetarkan sebagian
besar penjuru dunia”, pikir Mispan sambil mengingat-ingat sejarah kerajaan
Majapahit dan Sriwijaya. “Kalau dulu bangsa ini kuat, kenapa sekarang lemah ?
kalau dulu bangsa ini ditakuti, kenapa sekarang menjadi penakut ? kalau dulu
bangsa ini menjadi destinasi dan tujuan orang menuntut ilmu, kenapa sekarang
para penuntut ilmu menjauhi bangsa ini ?”, sambung Mispan sambil
memukul-mukulkan tinjunya ke meja tempat laptopnya berbaring, nyamuk-nyamuk
pagi yang menemaninya kabur berhamburan takut terkena tinjuan nyasar.
“Pasti ada
yang salah dengan bangsa Ini”, gerutunya bak seorang negarawan. “tapi apa ?”
sambungnya lagi sambil manyun menggerakkan mulutnya yang digembung-gembungkan
ke arah kiri dan kanan. Lalu pikiran liarnya merembet kemana-mana, mengoreksi
satu-persatu sejarah yang melengkapi perjalanan bangsa ini. “ahh, segala
sesuatu yang dilakukan oleh anak Adam bernama manusia pasti bersumber dari
sebuah visi, misi dan motivasi”, pikirnya meyakin-yakinkan pendapatnya. “Setelah
adanya pancasila, visi, misi dan motivasi perjuangan bangsa ini bertitik tolak
padanya atau dalam kata lain segala sesuatu yang dikerjakan oleh anak bangsa
Indonesia ini harus patuh, taat,tunduk dan sendiko dawuh pada apa-apa yang
tertuang dalam pancasila”, lanjutnya sambil menggaruk-garuk hidung yang tidak
gatal dengan jari kelingking tangan kanannya.
“kalau
pancasila benar-benar “disarikan” dari semua norma yang ada di Indonesia,
seharusnya pencapaian para pejuang sekarang tidak jauh berbeda dengan
pencapaian para pejuang di jaman dulu, dong”,
gumamnya lagi. “kalau pancasila merupakan “sari-sari” dari visi, misi
dan motivasi para pejuang dahulu, seharusnya kita bisa mengulang lagi
kesuksesan para pejuang bangsa dahulu, dong”, sambung pikirannya lagi. Sambil
membaca ulang hasil tulisannyadi laptop, Mispan menelitinya satu-persatu,
merasa ada yang janggal di dalam tulisannya, ada kata-kata yang sepertinya
sudah ditulis berkali-kali.
Pukul 1:22
WIB, “ahhhh... ini dia”, kata Mispan tak sengaja berteriak karena girang, suara
ngorok orang-orang yang tertidur di
dalam berhenti sejenak. Kata “inti sari”, “sari-sari”, “disarikan” sudah
beberapa kali ditulis dalam artikelnya ini. Si Mispan lalu bergumam sambil
membanding-bandingkan ,”Sari jeruk hanyalah sebagian kecil yang
mempresentasikan keseluruhan buah jeruk, sari jeruk bukanlah buah jeruk(Kalau
sari jeruk rasanya manis, tidak berarti semua jeruk rasanya manis, pun kalau
sari jeruk rasanya masam, maka tidak semua jeruk rasanya masam), seperti halnya
warna “keputih-putihan” bukanlah warna putih yang asli, tetapi merupakan
campuran warna putih dengan warna yang lainnya, warna “kehijau-hijauan”
bukanlah warna hijau yang sesungguhnya, tetapi sudah merupakan campuran dari
beberapa warna”, Si Mispan tambah bingung lagi.
Lalu dia
mengiingat-ingat sila-sila pancasila; “ketuhanan”
yang maha Esa; “kemanusiaan” yang
adil dan beradab; “kerakyatan” yang
dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; “keadilan” sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Bukannya menjawab pertanyaannya yang pertama, Si Mispan Malahan bertanya kembali, “apakah sama
artinya antara ketuhanan dengan Tuhan, antara kemanusiaan dengan manusia, antara
kerakyatan dengan rakyat, antara keadilan dengan adil ?”, dia
mengangguk-angguk dan bergumam “pasti tidaklah sama”, pertanyaan itu sama
dengan pertanyaan ,”apakah sama antara warna putih dengan keputih-putihan,
antara warna hijau dengan kehijau-hijauan, antara rasa manis dengan kemanis-masisan, antara rasa pedas
dengan kepedas-pedasan ?” pastilah
tidak sama juga.
“ahhh...
terlalu mudah selama ini aku
mengintisarikan. Tidak lengkap kalau seluruh norma yang pernah ada dan berlaku
di Indonesia jika hanya disarikan dalam sebuah konsep bernama “pancasila”,
pancasila bukanlah presentasi dari norma Indonesia !!” emosinya meningkat, lalu
mencercau lagi, “pancasila yang ada
sekarang ini berarti bukan merupakan visi, misi, dan motivasi sesungguhnya dari
perjuangan para pejuang pendahulu saya, pantesan
saja kesuksesan orang-orang dahulu berbeda dengan kesuksesan orang sekarang, lha wong visi, misi, dan motivasinya aja beda” emosinya meletup ,”pancasilaku
kurang lengkap !!!” kata Mispan menyimpul-nyimpulkan, membiarkan opininya
melambung bersama angin pagi yang
merupakan penghujung Ramadhan tahun 2015 ini, 29 ramadhan 1436 Hijriah. “selamat hari raya idul fitri, mohon maaf
lahir bathin” ucapnya sambil membuka hape,siapa
tahu ada sms dari kekasih hati.
EmoticonEmoticon