Tuesday, June 20, 2017

Tentang Maman Imanul Haq dan 'klaim’ bahwa semua agama Sama



                Mengikuti pergerakan dunia maya tidak akan pernah ada berhentinya. Dari isu satu berganti ke isu yang lainnya. Dari berita yang satu beralih lagi ke berita yang lainnya. Tidak sedikit dari isu dan berita itu menjadi viral dan terkenal. Tidak selalu lewat media massa nasional, sering juga melalui media sosial. Kali ini Kyai Maman Imanul Haq, pengasuh Ponpes Al Mizan Majalengka yang menjadi sasaran ‘penggorengan’. Kata-katanya dalam acara Kick Andi pada 16 Juni 2017 lalu, ‘disunat’ dan menjadi bahan perdebatan. Dalam kesempatan tersebut beliau memberi pernyataan:
                “Agama itu akan dilihat dari apa yang kita kerjakan. Jangan lihat apa agamamu, tapi lihat apa yang temanmu kerjakan pada kita. Orang yang jujur, orang yang soleh, orang yang punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas, apapun agamanya, dia pasti mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.
Dari kutipan kalimat tersebut yang paling disoroti adalah kalimat terakhir, “Orang yang jujur, orang yang soleh, orang yang punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas apapun agamanya, dia pasti mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah SWT. Kalimat ini dianggap setara dengan ungkapan bahwa  “semua agama adalah sama”. Bahkan sebuah akun facebook memberi judul dengan huruf besar “MENYAMAKAN SEMUA AGAMA SAMA DI SISI TUHAN, KH MAMAN IMANULHAQ FAQIH DIANJURKAN PINDAH KE AGAMA BUDDHA” disertai dengan cuplikan video dan dalil-dalil untuk memperkuat argumennya. Hingga tulisan ini saya buat postingan tersebut sudah mendapat respon sebanyak 12.961 kali dibagikan dengan komentar-komentar yang beragam. Padahal jika diperhatikan dan dicerna sungguh-sungguh tidak akan ditemukan satupun kalimat yang menyatakan bahwa ‘semua agama sama di sisi Tuhan’. 


Tentang Penafsiran
                                Kyai Maman sangat berhati-hati dalam memilih kata supaya tidak melukai umat agama selain Islam, dan untuk tidak menyakiti saudaranya pemeluk Islam.  Jika kalimat tersebut dipisah menjadi tiga, maka akan tampak jelas bahwa beliau sangat cerdas membangun frasa. Mari diperhatikan kata-demi kata:
1.       Orang yang jujur, orang yang soleh, orang yang punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas. Pada ucapan beliau ini beberapa sikap dan sifat yang diakui oleh semua agama sebagai sikap dan sifat yang baik dikumpulkan untuk mengingatkan kepada seluruh audience tentang sifat yang seharusnya dimiliki oleh semua orang.
 2.       apapun agamanya. Beliau sangat faham bahwa yang mendengarkan dan menyaksikan panggungnya bukan hanya umat Islam, melainkan dari beragam latarbelakang dan status keagamaan, sehingga tidak menyebut secara frontal dengan kalimat “jika agamanya Islam”. Hal ini juga berkaitan dengan kampanye toleransi dan kebhinnekaan yang selama ini beliau kumandangkan.
 3.       dia pasti mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah SWT. (mungkin) kalimat ini yang membuat pihak kontra semakin kepanasan. Secara tidak langsung kyai Maman disudutkan dan dianggap salah karena tidak mengucap “orang baik, jujur, soleh, kalau tidak beragama Islam maka mendapat  tempat yang buruk di sisi Allah SAW.”
 Berbeda respon dalam menerima sebuah berita adalah hal yang biasa. Perbedaan anggapan dan penafsiran atas sebuah informasi juga bukan hal yang luar biasa, bahkan diantara para ahli tafsir sering menemui perbedaan penafsiran. Wajarlah kalau publik kekinian juga merespon kalimat Kyai Maman dengan ekspresi berbeda-beda. Apalagi banyak yang sekedar share tanpa membandingkan ‘caption’ yang ditulis penyebar dengan isi pidato yang pembicara sampaikan.
Tentang “Tempat Yang Terbaik” di sisi Allah
                Kalau melihat secara tekstual ayat alquran  akan ditemui bahwa surga menjadi hak paten penganut agama Islam saja. begitupula dengan kitab suci lainnya pasti menyebutkan bahwa umatnyalah yang akan menghuni surga. Dalam ucapannya Kyai Maman tidak menyebut  dengan  “Orang yang jujur, orang yang soleh, orang yang punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas apapun agamanya, dia pasti mendapat “Surga Allah SWT”, akan tetapi memilih dengan kalimat “mendapat tempat terbaik di sisi Allah”. Kalimat ini seakan bermakna sangat luas namun ternyata sangat  spesifik. Bermakna luas karena setiap orang seakan bisa membuat penafsiran sesuai dengan background agamanya masing-masing dan tidak memberi penjelasan "terbaik di dunia" atau "terbaik di akhirat". Kalimat tersebut adalah kalimat pesifik karena ternyata beliau membatasinya dengan kata “di sisi Allah SWT”.  
              Pada kalimat "Tempat terbaik di sisi Allah SWT" Kyai Maman menempatkan Allah sebagai subjek yang Melihat sesuatu , lalu mengkaitkan dengan kepasrahannya pada kehendak Allah, pemberian Allah dan penilaian Allah  atas masa depan dunia-akhirat seluruh hambanya. Jika neraka digambarkan dengan kesedihan atau duka, dan surga digambarkan dengan keindahan mempesona, maka manusia tidak pernah bisa memastikan bahwa kesedihan yang Allah berikan pada manusia di dunia adalah sebuah keburukan dan juga tidak pernah akan bisa memastikan bahwa kegembiraan seorang hamba adalah sesuatu yang baik menurut Allah SWT.
                Jika pernyataan beliau tersebut berkenaan dengan tempat terbaik di akherat maka tanpa perlu saya memberikan jawaban, kita semua  sama-sama bisa menjawab terhadap pertanyaan: “apakah tempat yang terbaik menurut Allah SWT bagi orang kafir ?” dan "Kemanakah tempat terbaik di sisi Allah bagi orang kafir untuk kembali ?" lalu "apakah tempat terbaik di sisi Allah bagi orang mu'min ?". Dalam pidato tersebut cara dakwah halus Kyai Maman telah menang beberapa ronde dibandingkan pendakwah yang suka berteriak kafir. Beliau mengajak semua orang dari latar belakang apapun untuk berbuat kebaikan, namun beliau tetap menyampaikan pesan-pesan ketauhidan; mengajak semua orang dari semua latar belakang agama untuk melakukan “amar ma’ruf dan nahi munkar” tanpa menyebutkan bahwa mereka yang tidak beragama Islam adalam orang yang “munkar” ; mengajak semua orang kepada Islam tanpa menyebut mereka yang belum Islam dengan sebutan "kafir" ataupun "inkar". Dengan begitu mereka yang belum diberi hidayah kepada Islam tidak merasa dinomorduakan dan mau menerima ajaran untuk berbuat kebaikan dalam koridor kemanusiaan.

Tentang Ucapan Gus Dur
                Perkataan senada juga pernah mengundang kontra beberapa tahun yang lalu. Dengan santai almarhum Gus Dur bertutur yang kira-kira berbunyi “tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu melakukan sesuatu yang baik untuk semua, orang tidak akan bertanya apa agamamu”. Dalam pernyataan ini Gus Dur mengajak semua orang untuk berbuat baik tak peduli apapun agama atau suku yang dianutnya. Ya, memang benar orang lain tidak akan bertanya tentang agama orang lain yang memberi jasa dan kontribusi, meskipun terkadang orang yang baik dan berjasa akan menjadi kebanggaan bagi umat yang seagama dengan dia.
Dalam kalimat tersebut sebetulnya masih ada kalimat lanjutan yang Gus Dur memilih untuk tidak menyebutkannya. Gus Dur sangat paham tentang nilai kebhinnekaan di Indonesia sehingga menahan diri untuk mengucapkan “ orang memang tidak akan bertanya tentang agamamu, tapi Allah SWT akan bertanya loh yaaaa”.
Agama memang menjadi bahasan yang sensitif dalam ruang publik. Setiap orang pasti menganggap bahwa agamanya yang paling baik dan paling benar. Namun kiranya hal ini cukup menjadi konsumsi diri sendiri. meminjam istilah dari Mbah Emha Ainun Najib bahwa agama adalah dapur sebuah restoran, sedangkan akhlaq adalah penyajian makanan di ruang para pengunjung menikmati makanan. Hidangkanlah makanan dengan baik, benar dan penuh keindahan untuk setiap orang tanpa perlu menyebut-nyebut dapur restoran kita kepada mereka. Dakwah itu merangkul, bukan memukul; mengajar, bukan membajak; dengan  kecintaan, bukan dengan kebencian. Wallahu a’lam.
                                 
               




EmoticonEmoticon

Info Amirenesia