Mengikuti
pergerakan dunia maya tidak akan pernah ada berhentinya. Dari isu satu berganti
ke isu yang lainnya. Dari berita yang satu beralih lagi ke berita yang lainnya.
Tidak sedikit dari isu dan berita itu menjadi viral dan terkenal. Tidak selalu
lewat media massa nasional, sering juga melalui media sosial. Kali ini Kyai
Maman Imanul Haq, pengasuh Ponpes Al Mizan Majalengka yang menjadi sasaran ‘penggorengan’. Kata-katanya dalam acara Kick Andi pada 16 Juni 2017 lalu, ‘disunat’ dan menjadi bahan perdebatan. Dalam
kesempatan tersebut beliau memberi pernyataan:
“Agama itu akan dilihat dari apa yang kita kerjakan. Jangan lihat apa agamamu, tapi lihat apa yang temanmu kerjakan pada kita. Orang yang jujur, orang yang soleh, orang yang punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas, apapun agamanya, dia pasti mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.
Dari kutipan kalimat tersebut yang paling disoroti adalah kalimat
terakhir, “Orang yang jujur, orang yang
soleh, orang yang punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas apapun
agamanya, dia pasti mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah SWT. Kalimat ini
dianggap setara dengan ungkapan bahwa “semua agama adalah sama”. Bahkan sebuah akun
facebook memberi judul dengan huruf besar “MENYAMAKAN SEMUA AGAMA SAMA DI SISI
TUHAN, KH MAMAN IMANULHAQ FAQIH DIANJURKAN PINDAH KE AGAMA BUDDHA” disertai
dengan cuplikan video dan dalil-dalil untuk memperkuat argumennya. Hingga
tulisan ini saya buat postingan tersebut sudah mendapat respon sebanyak 12.961
kali dibagikan dengan komentar-komentar yang beragam. Padahal jika diperhatikan
dan dicerna sungguh-sungguh tidak akan ditemukan satupun kalimat yang
menyatakan bahwa ‘semua agama sama di sisi Tuhan’.
Tentang Penafsiran
Kyai Maman sangat berhati-hati
dalam memilih kata supaya tidak melukai umat agama selain Islam, dan untuk
tidak menyakiti saudaranya pemeluk Islam.
Jika kalimat tersebut dipisah menjadi tiga, maka akan tampak jelas bahwa
beliau sangat cerdas membangun frasa. Mari diperhatikan kata-demi kata:
1.
Orang
yang jujur, orang yang soleh, orang yang punya solidaritas sosial, punya
dedikasi, punya loyalitas. Pada ucapan beliau ini beberapa sikap dan sifat
yang diakui oleh semua agama sebagai sikap dan sifat yang baik dikumpulkan
untuk mengingatkan kepada seluruh audience
tentang sifat yang seharusnya dimiliki oleh semua orang.
2.
apapun
agamanya. Beliau sangat faham bahwa yang mendengarkan dan menyaksikan
panggungnya bukan hanya umat Islam, melainkan dari beragam latarbelakang dan
status keagamaan, sehingga tidak menyebut secara frontal dengan kalimat “jika
agamanya Islam”. Hal ini juga berkaitan dengan kampanye toleransi dan
kebhinnekaan yang selama ini beliau kumandangkan.
3.
dia pasti
mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah SWT. (mungkin) kalimat ini yang
membuat pihak kontra semakin kepanasan. Secara tidak langsung kyai Maman
disudutkan dan dianggap salah karena tidak mengucap “orang baik, jujur, soleh,
kalau tidak beragama Islam maka mendapat
tempat yang buruk di sisi Allah SAW.”
Berbeda respon dalam menerima sebuah berita adalah hal
yang biasa. Perbedaan anggapan dan penafsiran atas sebuah informasi juga bukan
hal yang luar biasa, bahkan diantara para ahli tafsir sering menemui perbedaan
penafsiran. Wajarlah kalau publik
kekinian juga merespon kalimat Kyai Maman dengan ekspresi berbeda-beda. Apalagi
banyak yang sekedar share tanpa membandingkan ‘caption’ yang ditulis penyebar
dengan isi pidato yang pembicara sampaikan.
Tentang “Tempat Yang Terbaik” di sisi Allah
Kalau
melihat secara tekstual ayat alquran
akan ditemui bahwa surga menjadi hak paten penganut agama Islam saja.
begitupula dengan kitab suci lainnya pasti menyebutkan bahwa umatnyalah yang
akan menghuni surga. Dalam ucapannya Kyai Maman tidak menyebut dengan “Orang
yang jujur, orang yang soleh, orang yang punya solidaritas sosial, punya
dedikasi, punya loyalitas apapun agamanya, dia pasti mendapat “Surga Allah SWT”, akan tetapi memilih
dengan kalimat “mendapat tempat terbaik
di sisi Allah”. Kalimat ini seakan bermakna sangat luas namun ternyata
sangat spesifik. Bermakna luas karena
setiap orang seakan bisa membuat penafsiran sesuai dengan background agamanya masing-masing dan tidak memberi penjelasan "terbaik di dunia" atau "terbaik di akhirat". Kalimat tersebut adalah kalimat pesifik karena ternyata beliau membatasinya dengan
kata “di sisi Allah SWT”.
Pada kalimat "Tempat terbaik di sisi Allah SWT" Kyai Maman menempatkan Allah sebagai subjek yang Melihat sesuatu , lalu mengkaitkan dengan kepasrahannya pada kehendak Allah, pemberian Allah dan penilaian Allah atas masa depan dunia-akhirat seluruh hambanya. Jika neraka digambarkan dengan kesedihan atau duka, dan surga digambarkan dengan keindahan mempesona, maka manusia tidak pernah bisa memastikan bahwa kesedihan yang Allah berikan pada manusia di dunia adalah sebuah keburukan dan juga tidak pernah akan bisa memastikan bahwa kegembiraan seorang hamba adalah sesuatu yang baik menurut Allah SWT.
Jika pernyataan beliau tersebut berkenaan dengan tempat terbaik di akherat maka tanpa perlu saya memberikan jawaban, kita semua sama-sama bisa menjawab terhadap pertanyaan: “apakah tempat yang terbaik menurut
Allah SWT bagi orang kafir ?” dan "Kemanakah tempat terbaik di sisi Allah bagi orang kafir untuk kembali ?" lalu "apakah tempat terbaik di sisi Allah bagi orang mu'min ?". Dalam pidato tersebut cara dakwah halus Kyai
Maman telah menang beberapa ronde dibandingkan pendakwah yang suka berteriak kafir. Beliau
mengajak semua orang dari latar belakang apapun untuk berbuat kebaikan, namun
beliau tetap menyampaikan pesan-pesan ketauhidan; mengajak semua orang
dari semua latar belakang agama untuk melakukan “amar ma’ruf dan nahi munkar”
tanpa menyebutkan bahwa mereka yang tidak beragama Islam adalam orang yang “munkar” ; mengajak semua orang kepada Islam tanpa menyebut mereka yang belum Islam dengan sebutan "kafir" ataupun "inkar". Dengan begitu mereka yang belum diberi hidayah kepada Islam tidak merasa dinomorduakan dan mau menerima ajaran untuk berbuat kebaikan dalam koridor kemanusiaan.
Tentang Ucapan Gus Dur
Perkataan
senada juga pernah mengundang kontra beberapa tahun yang lalu. Dengan santai
almarhum Gus Dur bertutur yang kira-kira berbunyi “tidak penting apa agama atau
sukumu. Kalau kamu melakukan sesuatu yang baik untuk semua, orang tidak akan
bertanya apa agamamu”. Dalam pernyataan ini Gus Dur mengajak semua orang untuk
berbuat baik tak peduli apapun agama atau suku yang dianutnya. Ya, memang benar
orang lain tidak akan bertanya tentang agama orang lain yang memberi jasa dan
kontribusi, meskipun terkadang orang yang baik dan berjasa akan menjadi
kebanggaan bagi umat yang seagama dengan dia.
Dalam kalimat tersebut sebetulnya masih ada kalimat lanjutan yang Gus
Dur memilih untuk tidak menyebutkannya. Gus Dur sangat paham tentang nilai
kebhinnekaan di Indonesia sehingga menahan diri untuk mengucapkan “ orang
memang tidak akan bertanya tentang agamamu, tapi Allah SWT akan bertanya loh
yaaaa”.
Agama memang menjadi bahasan yang sensitif dalam ruang publik. Setiap
orang pasti menganggap bahwa agamanya yang paling baik dan paling benar. Namun
kiranya hal ini cukup menjadi konsumsi diri sendiri. meminjam istilah dari Mbah
Emha Ainun Najib bahwa agama adalah dapur sebuah restoran, sedangkan akhlaq
adalah penyajian makanan di ruang para pengunjung menikmati makanan.
Hidangkanlah makanan dengan baik, benar dan penuh keindahan untuk setiap orang
tanpa perlu menyebut-nyebut dapur restoran kita kepada mereka. Dakwah itu
merangkul, bukan memukul; mengajar, bukan membajak; dengan kecintaan, bukan dengan kebencian. Wallahu a’lam.
EmoticonEmoticon