Kita sama-sama tahu pentingnya tembok atau dinding yang
memproteksi isi rumah kita dari segala ganguan dan ancaman yang berasal dari luar
rumah. Dinding melindungi kita dari kencangnya angin dan juga lebatnya hujan,
dinding mengamankan barang-barang kita dari tangan-tangan usil nan jahil. Membangun
tembok tebal dan kokoh merupakan keniscayaan untuk mendapatkan keamanan. Namun
apa jadinya jika seluruh rumah kita tercover
dengan dinding, tertutup rapat dengan tembok tebal tanpa hadirnya satu
pintu dan jendela-pun di sana? Ternyata hidup dengan keamanan tingkat tinggi
dalam tembok tebal saja tidak cukup, kita membutuhkan hal lain yang bisa
menghubungkan kita dengan dunia luar, pintu dan jendela.
Mestinya setiap orang mempunyai “standar” dalam menentukan pintu yang akan digunakan untuk
berhubungan dan beriteraksi dengan mahluk Tuhan yang lain di sekitarnya. Membicarakan
standar, berarti membicarakan angka-angka, tata cara, dan ukuran. Setiap orang
mempunyai standar masing-masing dan standar setiap orang tidak selalu sama, meskipun
diantara beberapa orang mempunyai kesamaan standar. Sangat susah menentukan
standar pintu rumah yang akan kita bangun, namun akan lebih susah lagi
menentukan konstruksi pintu rumah “tepat
guna”, yang bisa bermanfaat untuk pemilik rumah, menjaga wibawa, harga diri
dan kehormatan pemilik rumah dan bisa diterima dengan baik dan nyaman oleh
orang lain yang berkunjung. Sangat susah membangun pintu yang tepat guna ini, bahkan beberapa orang
sering bongkar pasang pintu rumahnya untuk mendapatkan predikat pintu yang
tepat guna.
Setelah
pintu terpasang hal selanjutnya yang harus ditentukan adalah penentuan
siapa-siapa saja yang diizinkan memasuki rumah kita, makhluk model apa yang
boleh masuk secara bebas dan leluasa, serta makluk model apa yang boleh masuk
tetapi dengan terbatas dan dengan pengawasan kita. Kita pemilik rumah yang
bebas menetukan ukuran tembok, ukuran pintu rumah dan juga peraturan untuk para
tamu yang masuk rumah kita.
Setidaknya
demikian saya menggambarkan makna sebuah kewibawaan, sebuah harga diri dan
sebuah kehormatan yang tejaga, tersimpan dan terlindungi di dalam “tembok” yang membatasi kita dengan
dunia luar. Kita setuju bahwa semakin tebal dan kokoh tembok maka akan semakin
aman rumah kita. Sekarang kita membutuhkan pintu dan jendela yang akan
menghubungkan kita dengan dunia luar.
Pintu dan jendela adalah sifat, sikap dan tingkah laku. Sifat, sikap dan
tingkah laku kita inilah yang akan menempatkan kita pada darojatul-ulya
(derajat tertinggi) ataukah di darojatus-sufla (derajat terendah) di
hadapan manusia. Seperti layaknya standar pintu serta jendela, kitapun mestinya
punya standar bersifat, bersikap dan bertingkah laku. Terkadang pintu rumah
harus ditutup rapat-rapat, terkadang dibuka pelan-pelan dengan kewaspadaan,
bahkan untuk orang-orang spesial rumah pintu rumah harus disingkirkan dari
tembok dan disimpan di gudang. Sabagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata
arab klasik yang menyebut “laa takun
rothban fatu’soro, walaa yaabisan fatukassaro” janganlah bersikap terlalu
lunak supaya kamu tidak diremehkan, dan jangan bersikap terlalu keras serta
kaku supaya kamu tidak dipatahkan. Jember 23 Nop 15; 13:38 WIB.
EmoticonEmoticon