Tak pernah
terucap dalam mulut ini kesyukuran akan keberadaan mahluk Tuhan yang
selanjutnya disebut kaki.
Berpuluh kota di Indonesia sudah pernah saya
Injak, beragam puncak gunung dengan berbagai spesifikasi ketinggian dan
keistimewaan sudah berhasil didaki, tempat-tempat indah; pantai, air terjun,
laut, hutan rimba, masjid, bukit, kawah, danau, telaga, dan lain sebagainya
pernah didatangi, namun belum juga mengalir kata syukur pada Tuhan yang
dikhususkan pada penciptaan mahluk bernama kaki ini.
Namun.
Hari itu mulut mungilnya (sebagai perantara), Tuhan mengetuk hati saya untuk
setidaknya mengucap “hamdalah” akan nikmat berupa sepasang kaki ini. “kenapa
dikau selalu memfoto kaki ?”, tanyaku dengan keingintahuan. “Karena dengannya,
kita bisa sampai kemana-mana”, jawab mulut mungilnya dengan sunggingan senyum.
Sayapun tersenyum lebar, semakin mengaguminya. “Indahnya pantai payangan pagi ini kalah jauh dengan cantikmu dik”,
batinku.
Ujung-ujungnya saya merenung..............
“Kenapa disebut kaki ?
Kenapa tidak disebut tangan saja,
atau kuping, atau mata ?
Kenapa yang dipakai melangkah
harus disebut dengan kaki ?”
“ahhh... itu bukan urusanmu Bung,
kau kan mahasiswa hukum, kalau kau pengan tahu jadilah saja mahasiswa sastra,
sejarah, bahasa, atau yang lain sebagainya !”, sebuah suara terdengar di ujung
gelap sana.
“aiiii, bukan begitu maksud saya.
Bukankah semuanya dibuat berdasar rumus-rumus, formula-formula, aturan-aturan,
dan hukum-hukum, jadi “mau saya”, “kepengen saya”, “harapan saya” sebagai
mahasiswa hukum, mahasiswa hukum itu seharusnya manusia dewa yang tahu akan
segalanya, karena merekalah yang bertanggungjawab akan sukses atau tidak segala
sesuatunya”.
“owaaalaahh... jangan ngimpi
ente. Ya nggk mungkin laah”, cerca suara itu lagi.
“ya mungkin saja”, belaku. “ya
mungkin saja kalau setiap orang mau menjalankan hadis nabi yang bunyinya
carilah ilmu dari ayunan hingga liang kuburan”. Wallahu a’lam
EmoticonEmoticon